Diceritakan sebuah kisah nyata seorang pemuda yang tengah jatuh cinta pada seorang gadis manis yang begitu ceria. Resah, gelisah, tidur susah, makan payah, ketika si gadis terus saja menggelitiki hatinya.
"Ah. Aku sakit. Aku jatuh cinta."
Jatuh? Sakit? Cinta? Apa obatnya?
Menikah.
Lantas pria itu memutuskan untuk menikahi gadis impiannya. Dan sebuah perhelatan pernikahanpun terlaksana sudah.
Pemuda itu begitu bahagia. Begitu pula dengan istrinya. Tahun-tahun silih berganti. Bahtera rumah tangga mereka begitu indah berlayar. Sang istri melahirkan satu, dua dan tiga orang anak yang begitu lucu dan menggemaskan. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hingga lahir pula anak ke empat. Namun disinilah ujian pernikahan mereka. Sang istri mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya pasca kelahiran anak bungsunya. Kedua kakinya mati tak mampu bergerak. Namun suaminya, setia disisinya.
Sang Maha Cinta menambah ujian pernikahan mereka. Sang istri bukan hanya lumpuh kedua kakinya. Namun juga tangannya, tubuhnya, bahkan lidahnya begitu kelu untuk berkata-kata. Seluruh tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun. Hanya tersisa bola matanya juga kelopak matanya yang dapat bergerak-gerak. Wanita itu terbujur kaku bak seonggok mayat yang bernapas. Namun, sang suami setia disisinya untuk merawatnya. Menyuapinya, memandikannya, memakaikannya baju, menyisir rambutnya, mendandaninya, menidurkannya, mendudukannya, membawanya jalan-jalan dan sebagainya. Setiap pulang dari kantor, suaminya selalu bercerita tentang kegiatannya seharian di kantor pada istrinya. Bercerita. Bayangkan. Berbagi tanpa ada jawaban atau tanggapan apapun. Setiap cerita sang suami hanya dijawab oleh kedipan lemah kedua mata istrinya juga tatapannya. Hanya melalui cara memandang suaminya saja sang istri dapat mengutarakan rasa cintanya yang teramat besar pada malaikat penjaganya itu.
Terkadang teman-teman sang suami menyarankannya untuk menikah lagi. "Untuk apa kamu pertahankan istri yang tak bisa membuatmu bahagia? Bukannya istri yang melayani suami ini sebaliknya." Sang suami hanya tersenyum tak menjawab.
Setiap sepertiga malam sang suami turun meletakan keningnya di atas tanah. Merendahkan dirinya serendah-rendahnya dihadapan Illahi. Tuhan Semesta Alam yang berjanji akan turun untuk mengampuni jiwa yang memohon ampunan-Nya malam itu, berjanji pula akan mengabulkan setiap permohonan hamba-Nya. Lalu ia hanya berdoa agar ia dan bidadari kesayangannya diberikan kesabaran. Tak pernah terucap sedikitpun "Mengapa harus istriku yaa Allah? Mengapa bukan aku saja?" Tidak!
Ujian ini tidak kunjung berlalu begitu saja. Hingga 32 tahun lamanya sang istri masih saja menjadi mayat hidup. Hingga putra putri mereka telah tumbuh dewasa dan menggapai kesuksesan mereka.
"Ayah, sudah lama sekali. 32 tahun, yah. Kami sudah sukses. Serahkan ibu pada kami. Ayah menikahlah lagi. Dengan wanita muda yang sehat yang mampu merawat dan melayani ayah. Kami ingin ayah bahagia."
Namun apa sang suami setia itu menjawab?
"Tidak! Ketahuilah, nak. Ibumu ini cacat setelah melahirkanmu. Bagaimana mungkin ayah tega meninggalkan ibumu yang telah melahirkan anak anak yang lucu yang kini telah dewasa dan menjadi penerus darah ayah sendiri? Ayah selalu ingat kebahagiaan-kebahagiaan yang ibumu berikan dahulu. Buah kebahagiaan yang kini telah tumbuh dewasa. Ayah tak mau meninggalkan ibumu."
Hening. Lalu sang suami pun melanjutkan jawabannya sembari memeluk istrinya yang beruraian air ata lalu membelai rambutnya penuh cinta.
"Ayah begitu ingat ketika ayah meminta ibumu dari ayahnya, ketika ayah berjabat tangan begitu erat dengan kakekmu. Ayah berjanji, disaksikan oleh para manusia disana hingga penduduk langit, hingga menggetarkan asry Allah karena janji ayah. Ayah berjanji akan setia pada satu wanita. Ibu kalian. Kalau saja ayah menikah karena nafsu, sudah lama ayah tinggalkan ibumu. Tapi tidak. Ayah menikah dengan komitmen kesetiaan. Tak ada yang bisa memisahkan ayah dengan ibumu selain maut dan kehendak Allah. Jangan sarankan ayah untuk menikah lagi. Ayah ingin bersama ibumu hingga ke surga. Berada disampingnya adalah kebahagiaan ayah. Ayah mencintai ibumu. Sehatnya, sakitnya, mudanya, tuanya, lebihnya, kurangnya. Ayah mencintai semuanya. Apapun keadaanya. Ayah tetap mencintai ibumu."
Masyaa Allah.
Suatu hari Minggu sekitar empat tahun yang lalu, saat itu aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Jernih sungai membelah desa. Daun dan rerumputan menari bersama angin. Kicauan burung nyaring bersahutan. Tak tertinggal pula sejuknya udara pagi menggigit manja sekujur tubuhku. Minggu pembina eskul yang aku ikuti mengadakan kegiatan yang cukup menantang. Mendaki sebuah gunung.
Singkat cerita, saat itu kami telah tiba di tengah hutan. Sekelompok pendaki ini telah berbaris satu banjar, karena hanya ada satu jalan setapak yang sangat sempit terhimpit rerumputan yang tidak begitu tinggi. Jalan setapak itu pun cukup terjal dan licin, tentu sangat menantang bagi kami untuk melewatinya.
"Kamu tau? Satu orang di atas aja kepeleset, pasti jatuh semua." Ujar seseorang di belakangku, entah siapa, mungkin adik kelasku.
Sekitar setengah perjalanan hutan untuk sampai ke puncaknya, sahabat baikku berkata ia ingin buang air kecil. Sekalian saja untuk jeda istirahat paling tidak untuk minum. Aku duduk di atas sebongkah batu besar. Mengamati sekitar. Hutan. Aku juga menoleh ke belakang. Ada sebuah jalan setapak juga disana.
"Oh, ada jalan ke sana juga? Itu kemana ya?" Batinku berkata sendiri.
"Teh, ayo." Ajak adik kelasku mengingatkan rombongan pendaki hari itu telah memulai kembali perjalannya.
Tibalah kami di puncak gunung. Pemandangannya sangat indah memanjakan mata kami. Hutan yang telah kami lalui pun terlihat indah dari atas sini. Tapi aku terkejut melihat ada warung sederhana di puncak ini.
"Apa mungkin dia kesini setiap hari? Atau dia tinggal disini? Gimana sama belanjaan warungnya? Beli di pasar? Gimana caranya?" Pikirku saat itu.
Ibu pemilik warung yang sadar akan perhatian yang ku taruh pada warungnya menyapa lalu berkata.
"Neng, hati-hati ya? Jangan sampai jalan sendirian kepisah sama rombongannya sedetikpun."
Aku hanya mengiyakan. Tentu. Mana mungkin aku mau terpisah dari yang lain?
Asyik menikmati pemandangan indah ini. Tak terasa hari menjelang sore. Saatnya kami pulang.
Di perjalanan menuruni gunung dan kembali memasuki hutan, adik kelasku ada yang menangis ketakutan melihat jalan setapak yang curam. Ia terduduk sambil terus menangis. Tentu saja arus menuruni gunung menjadi macet. Aku sedikit mendengus kesal. Maka aku menyalip-nyalip sampai aku melewati rombonganku, aku menuruni gunung sendirian, meninggalkan rombonganku. Aku tidak mungkin tersesat, hanya ada satu jalan setapak yang akan mengantarku ke kaki gunung.
Ku dengar suara orang tertawa-tawa menggelikan di belakangku. Aku menghentikan langkahku di tengah hutan. Perlahan memberanikan diri menengok ke belakang. Dan...
BOO!
Aku terkejut karena tiba-tiba kedua adik kelasku, Mia dan Tia ada beberapa meter di belakangku.
"Loh? Teteh udah disini? Bukannya tadi masih di atas bareng yang lain?" Tanya Mia.
"Ternyata kalian. Iya, aku nyelip-nyelip. Habis di atas macet ah." Sahutku.
"AWAAASS!!! AWAAASSS!!! GAK ADA REMNYA! GAK ADA REMNYA!" Suara seseorang dari atas kami.
WUSH!
Ternyata itu Ridwan dan Listy yang berlari. Dibuntuti dua orang perempuan yang sekilas seperti Mia dan Tia yang juga ikut berlari. Aku terkejut lalu menoleh ke belakang. Mia dan Tia ada di belakangku. Lalu siapa dua orang yang berlari tadi? Lantas aku teringat perkataan ibu warung di puncak tadi.
"Ah! Ridwan sama Listy ninggalin rombongan! Tapi... seenggaknya mereka gak sendiri, mereka berdua. Ibu itu kan bilangna jangan sampe sendirian." Pikirku dalam hati.
"Ih itu ngapain Nisa sama Anggi lari-larian sama Teh Listy sama A Ridwan?" Tanya Mia.
"Kurang kerjaan kali. Haha." Sahut Tia.
"Oh, aku salah liat. Itu Nisa sama Anggi ya? Hhh... bikin kaget aja." Bisikku dalam hati.
Kedua orang itu memang tipikal manusia aktif yang tak suka diam, wajar mereka berlari menuruni gunung terjal ini untuk menantang adrenalin mereka. Mungkin.
"Iya tau! Si Galang mah emang gitu. Di kelas juga gak bisa diem."
"Tapi nakal juga dia tetep bagus sih ya sama pelajarannya."
Bla bla bla...
Terdengar Mia dan Tia sedang bergosip ria di belakangku. Daripada sepi dan bosan, aku ikut masuk saja dalam obrola mereka. Hasilnya, kami tertawa-tawa bertiga.
Tibalah kami pada titik dimana tadi kami beristirahat di tengah hutan itu. Aku kembali melewati persimpangan jalan tadi.
"Udah disini lagi ya? Turunya lebih cepet." Kataku.
"Iya atuh, teh. Kan turun." Sahut Mia.
Hening sejenak. Aku merasakan keganjilan di tempat ini. Entah apa.
"Mia! Lewat sini yuk! Ini Jalan pintas buat sampai ke desa." Ujar Tia sembari menunjuk pada jalan setapak yang tadi aku lihat.
"Oh iya! Yuk yuk!" Sahut Mia.
"Eh? Kalian mau kemana? Nanti nyasar! Ini jalannya! Lurus! Jangan belok ke kanan!" Seruku.
"Enggak, Teh! Aku udah sering kesini. Ini jalan pintasnya. Aku sering lewat sini. Teteh mau ikut?" Ujar Mia.
"Terserah! Pokoknya jangan ke sana! Ikutin jalan yang tadi! Jangan kesana! Takut nyasar!" Seruku.
"Yaudah gapapa teteh gak mau ikut mah. Kita sih mau lewat sini."
Mereka tak mau menurut. Aku juga tak mau sendiri dan tak mau mereka tersesat. Akhirnya aku ikuti mereka sambil terus membujuk untuk kembali. Anehnya aku tak dapat mengejar mereka padahal setengah berlari. Mereka berjalan begitu cepat. Sampai akhirnya aku kehilangan mereka.
Mumpung belum terlalu jauh, aku memutuskan kembali ke persimpangan tadi. Memutuskan untuk menunggu yang lain di sana. Daripada aku tersesat mengikuti dua adik kelas yang tak mau nurut itu.
Aku duduk diatas sebongkah batu yang tadi. Menunggu yang lain turun. Tak lama kemudian pembina eskulku tiba.
"Pak, Mia sama Tia masuk ke sana. Bilangnya mereka mau lewat jalan pintas. Aku takut mereka nyasar." Kataku.
"Yaudah kita cari." Katanya.
Kami berdua memasuki jalan itu. Tak ada Mia dan Tia disana.
"Yaudah, kita turun aja dulu. Siapa tau Mia sama Tia beneran motong jalan terus udah sampai di desa." Ujar Bapak Pembina aku hanya mengangguk setuju.
Tiba di kaki gunung, benar saja Mia dan Tia ada di sana bersama Ridwan dan Listy. Mereka benar-benar melewati jalan pintas itu.
"Mia, Tia. Kalian bener-bener ya? Kelewatan. Kenapa kalian ambil jalan pintas? Kalau kalian nyasar mau apa?" Dengusku kesal.
Keduanya tak bicara, hanya berkedip keheranan lalu menatap satu sama lain.
"Siapa yang ngambil jalan pintas, Teh?" Ujar Tia keheranan.
"Tadi itu! Kalian. Belok kanan, bukannya lurus. Kalau nyasar gimana?" Kataku lagi.
"Kita ga motong jalan, Teh." Ujar Mia.
"Iya, justru teteh yang lama. Kita udah nyampe disini sekitar 20 menit yang lalu." Ujar Mia.
"Iya, kita dari tadi lari-larian dari atas sama Teh Listy sama A Ridwan. Kita balapan, teh. Yang menang A Ridwan, Teh Listy kedua, aku ketiga, Mia keempat. Iya, kan?" Jelas Tia lalu menatap Listy.
"He eh." Sahut Listy sembari menganggukan kepalanya.
Aku terdiam. Mencoba menghitung orang yang hadir di acara ini. Semua lengkap. Tak ada yang hilang. Lantas aku berbisik.
"Terus. Siapa yang dari tadi bareng aku sepanjang jalan di hutan?"
Secuil kenangan mengusik jiwaku
Tak banyak, hanya setitik yang mengganggu
Dipayungi langit yang berwarna biru
Kau bernyanyi dengan wajah yang lugu
Sejuta harapan kerap menyapa
Disahut hati yang setiap hari jatuh cinta
Hampir sewindu namamu bertahta
Seabad selamanya akan tetap sama
Mata kosong menatap angan
Setia menanti hari yang dijanjikan
Ketika terputar lagi semua kenangan
Menikmati semua lagu untukku yang pernah kau nyanyikan
Sungguh aku hanya wanita yang sedang jatuh cinta
Yang kini hanya ditemani secarik kertas dan tinta
Untuk menyampaikan beberapa kata
Pesan rindu untukmu yang kini jauh di mata
Goresan demi goresan make up begitu jeli diukir oleh tangan mahir Diva. Livia telah begitu cantik dengan riasan karya Diva itu. Dilengkapi dengan gaun mewah yang disampaikan di tubuhnya. Dan lebih lengkap lagi dengan calon mempelai pria yang juga telah tampan menunggu calon istrinya selesai dipolesi make up.
"Siap?" Tanya Fauzan pada Diva.
"Sebentar, Zan. Antingnya satu lagi." Ujar Diva.
Meski Diva begitu gila mencintai Fauzan dan selalu terhipnotis oleh suaranya, agaknya ia begitu profesional saat merias. Sehingga Fauzanpun tak akan mengganggu konsentrasinya sedikitpun.
"Udah, siap." Ujar Diva.
"Oke." Sahut Fauzan.
"Eh, bro. Liat calon pengantin kamu secantik apa." Canda Fauzan sembari menepuk bahu Anton. Tapi Anton hanya tersenyum disambut dengan sikap malu malunya Livia. Dibalik kalimat pujian Fauzan untuk Livia ternyata Diva berbesar hati.
"Dia pasti lagi coba puji riasan aku." Bisik Diva dalam hati.
"Eh... calon pengantin malah malu malu gitu. Udah ah. Yuk foto dulu. Siap kan?" Ujar Fauzan.
Singkat cerita, Fauzan begitu piawai mengatur posisi-posisi dan berbagai gaya untuk mengindahkan hasil jepretannya. Sama seperti Diva, Fauzanpun begitu profesional saat memotret. Tak akan ada sedikitpun yang mampu mengganggu konsentrasinya. Dari belakang, Diva terfokus pada Fauzan.
Selesai sudah pemotretan prawedding Anton dan Livia. Fauzan nampaknya tertarik dengan busana pengantin milik Diva di galerinya.
"Gaun Livia tadi bagus, Div. Itu kamu yang buat atau kamu beli design orang lain?" Tanya Fauzan.
"Aku yang design." Sahut Diva.
"Wah. Keren, Div." Puji Fauzan, Diva hanya tersenyum.
"Hari ini jadwal kamu apa?" Tanya Fauzan.
"Udah sih. Ini aja." Sahut Diva.
"Ga sibuk dong?"
"Enggak. Kenapa?"
"Kebetulan. Aku tertarik sama busana pengantin kamu. Aku mau liat-liat. Boleh ya?"
"Busana pengantin laki-laki atau perempuan?"
"Dua-duanya."
"Oke. Ayo."
*****
Keduanya telah tiba di galeri busana pengantin tradisional modern rancangan Diva. Terdengar berkali-kali Fauzan bersiul memuji karya Diva. Dan, mata Fauzan tertuju pada sepasang busana pengantin pria dan wanita di ujung ruangan sana.
"Yang ini, Div. Ini juga keren banget loh. Ini juga rancangan kamu?" Tanya Fauzan.
"Iya." Sahut Diva.
"Keren keren." Puji Fauzan. Terang saja hati gadis itu melayang tinggi.
"Hasil foto-foto kamu juga keren-keren, kok." Sahut Diva.
"Ah. Cuma amatiran."
"Itu keren, Fauzan."
"Iya iya. Fauzan emang keren kok." Ujar lelaki itu sembari menengadahkan wajahnya berlagak sombong dalam candaannya.
Diva hanya tertawa. Lalu hening.
"Eh, Diva, kok kamu asyik ngejomblo aja sih? Kapan nikah?" Tanya Fauzan.
"Mmm... masih nunggu yang cocok aja." Jawab Diva.
"Emang kamu mau calon suami yang gimana?"
Melayang jauh hati Diva, berbesar hati bahwa Fauzan tengah mencongkel-congkel informasi agar ia mampu menjadi suami idamannya.
"Yang setia, yang bertanggung jawab, yang berwibawa, yang bijaksana, yang berkharisma, yang tegas, yang bisa melindungi aku, yang..." kalimat Diva terhenti ketika bola matanya bertemu dengan bola mata Fauzan yang nampak menunggu akhir kalimatnya dengan mengeryitkan alisnya memesona.
"Gatau lagi. Hehe." Sambung Diva sedikit gugup. Fauzan hanya tertawa renyah.
"Apa menurut kamu aku udah cocok jadi suami idaman kamu itu?" Tanya Fauzan.
Merah sudah kedua pipi Diva. Hatinya begitu berdegup kencang.
"Apa dia bermaksud melamarku sekarang?" Bisik Diva dalam hati sembari menatap tegang wajah tampan nan teduh itu.
"Mmm?" Tanya Fauzan lagi.
"Iya." Jawab Diva.
Fauzan menyeringai bangga.
"Itu pasti calon suami dambaan semua perempuan, kan, Diva?" Tanya Fauzan memastikan.
"Pasti." Jawab Diva.
"Kalau gitu..." Fauzan merogoh isi kantung celananya.
"Kamu suka gak?" Sebuah kotak kecil berwarna merah menganga menawarkan cincin indah yang berkilau di dalamnya.
"Ini cantik banget, Fauzan!" Seru Diva.
"Kamu suka?" Tanya Fauzan.
"Suka suka!" Seru Diva.
"Syukurlah." Ujar Fauzan.
Diva tetap mematung. Hatinya menunggu cincin itu berhasil disematkan dijari manisnya.
"Kalau tolong kamu simpen busana pengantin ini ya? Jangan dikasih kesiapapun. Aku suka ini." Ujar Fauzan sembari menunjuk busana pengantin tadi.
Diva semakin heran.
"Secepat itukah?" Bisik Diva dalam hati.
"Dia pasti suka!" Bisik Fauzan penuh semangat.
"Dia? Siapa?" Diva penasaran. Mungkinkah yang dimaksud dia adalah dirinya?
"Ah iya, Div. Aku ada sesuatu buat kamu." Ujar Fauzan merogoh isi tasnya.
"Ada lagi? Cincinya aja belum disematkan dijari aku." Bisik Diva dalam hatinya.
"Ini." Fauzan menyerahkan selembar kertas undangan.
"Apa ini?" Tanya Diva.
Tertulis: Save The Date September, 25th 2016. Nadia & Fauzan wedding.
Pecah sudah rasanya hati Diva.
"Makanya aku tanya suami idaman kamu, itu psti calon suami idaman Nadia. Cincin ini juga buat mas kawinnya, udah lengkap sih, tapi tinggal cincinnya, dan kamu suka. Pasti Nadia juga suka." Ujar Fauzan begitu bersemangat. Namun kedua telinga Diva tertutup rapat begitu sepi terdengar, hanya suara kekecewaan yang mengitarinya.
"Oh iya. Aku juga suka riasan kamu. Aku mau kamu rias pengantin aku nanti ya? Bikin pengantin sahabat kamu ini secantik mungkin. Oke?" Ujar Fauzan menyayat hati Diva yang malang.
Pria itu pergi meninggalkan Diva yang merasakan langit runtuh menimpa tubuhnya yang menyedihkan.
Ternyata inilah jawaban dari sepucuk surat undangan.
Diva. Dia adalah mahasiswa berdarah Tionghoa dengan wajah khas orientalnya yang baru saja menyentuh langit kelulusan. Deangan modal ijazah sarjana manajemen, hendak kemana kaki melangkah meraup rezeki dibawah atap pekerjaan?
Sejak SMA, Diva bosan ada di bawah diperintah tugas para guru ditambah lagi di bawah telunjuk dosen dan mengingat telunjuk skripsi... Ah! Andai Diva yang bisa menyuruh orang. Cukup masa sekolah dan kuliah saja aku diatur-atur. Tapi, nampaknya ijazah ini tak kan berguna baginya. Karena ia memutuskan untuk berbisnis! Dimana ia bisa terbebas dari aturan seorang atasan.
Hanya dua hari pasca kelulusan, Diva memutuskan untuk mengikuti kursus merias.
Apa aku disini sedang bercerita tentang kisah inspiratif tentang kesuksesan? Haha. Tidak. Sebenarnya aku sedang bercerita tentang Diva yang tengah lelah menantikan pasangan.
"Kapan kamu menikah?"
Agaknya kalimat godaan itu yang amat menyayat hatinya. Candaan teman-teman yang selalu membuatku tertawa mengikuti candaan mereka, walau susah payah matanya menahan genangan air agar tak terjatuh.
Usianya tak terlalu tua memang. Diva masih 23 tahun. Namun memang sudah saatnya baginya untuk menikah.
Singkat cerita, diusianya yang ke 23 ini, wedding organizing miliknya sendiri telah resmi dibuka dan mulai beroperasi.
"Kamu udah enak ya? Kalau mau nikah kamu bisa dandan aja sendiri. Pake WO sendiri. Pasti gratis segala-galanya." Ujar sahabat baik Diva, Lala.
"Bertahun-tahun ngejomblo lu. Kapan mau nikahnya kalau kamu terlalu selektif gitu?" Ejek sahabat baik Diva yang lain, Vania. Yang kini tengah menikmati masa indah pengantin barunya.
"Berisik! Biar surat undangan yang menjawab." Sahut Diva.
"Gak gitu, Va. Kamu mau nyari yang gimana lagi coba? Banyak yang mau macarin kamu, kamu tolakin mentah-mentah. Bahkan cowok seromantis Tommy pun nembaknya kamu tolak, Va. Kurang apa coba dia? Ganteng iya, mapan juga." Ujar Vania.
"Aku carinya calon suami, Van." Elak Diva.
"Lagian, segimana baiknya laki-laki mana pun, hati Diva udah terlanjur nyantol sama si fotografer itu, kan? Haha." Canda Lala.
"Ah kamu mah nunggu yang gak pasti." Sahut Vania.
"Gak pasti apanya sih, Van? Aku yakin dia juga punya perasaan yang sama. Mungkin dia gak nembak aku jadi pacarnya, mungkin dia lagi siapin yang lebih dari itu, mungkin dia lagi siapin acara lamaran dan pernikahan kita. Aaahh!" Pikiran wanita itu melayang terbuai harapan semu yang diada-adakan oleh hatinya sendiri.
"Ngimpi jangan terlalu tinggi, jatuh baru sakit loh!" Sahut Vania.
"Ahh... kamu gimana sih? Sahabat lagi jatuh cinta kamu bukan ngedukung malah kayak gini!" Protes Diva.
Panjang umur nampaknya sang fotografer pujaan hati Diva, Fauzan. Pria berparas tampan dengan bentuk tubuh yang proporsional dilengkapi dengan aksi multitalent dan ramah serta santun sikapnya. Gadis mana yang tak terpaut hatinya pada lelaki itu? Saat itu hanya beberapa meter saja jaraknya dari Diva, Fauzan nampak sedang mengecek memory card pada alat pengambil gambarnya.
"Liat ya? Kalau dia emang suka sama aku, dia pasti nengok terus senyum sama aku." Bisik Diva.
Dan ternyata benar saja. Pria itu tersenyum ramah pada Diva. Lalu berjalan pergi. Dan sukses memabukan Diva dengan senyuman itu.
"Tuh kan!" Sorak Diva pelan. Ujung kedua matanya meruncing begitu sipit seperti bulan sabit.
"Itu karena setiap manusia punya naluri, Diva. Siapapun kalau diliatin pasti ngeh dan nengok sama orang yang ngeliatinnya, kalau ketauan ada yang ngeliatin pasti disenyumin." Jelas Vania. Tapi agaknya Diva masih terhipnotis dengan senyuman itu. Namun, senyuman itu semakin dekat dan mendekat.
"Diva, kamu gak lupa jadwal pemotretan prawedding Anton sama Livia sore ini, kan?" Tanya Fauzan kemudian.
"Ah.. ya! Tadi Livia udah nelpon, Jam dua kita ketemu mereka, biar aku rias dulu Livianya." Sahut Diva.
"Yaudah, siapin aja." Ujar Fauzan ditutup dengan garis manis di bibirnya lalu beranjak pergi dan menjauh.
"Persiapin buat jadi istri kamu? Kapan?" Diva meracau.
Kedua sahabat gadis berdarah Tionghoa itu agaknya merasa kasihan dan takut sahabatnya suatu saat akan kelelahan karena berlari. Ya, berlari dari kenyataan. Apa boleh buat. Diva telah menutup rapat kedua telinganya dan kedua matanya oleh cintanya pada Fauzan. Suasanapun menjadi hening.
"Nah, kira-kira berapa lama lagi Diva menjomblo ya?" Goda Lala memecah keheningan.
"Dia mah cowok yang ada aja ditolakin terus, Lala." Celetuk Vania. Lantas Diva menjawab dengan manis di wajah jatuh cintanya.
"Biar surat undangan yang menjawab."
It's like he doesn't hear a word I
say
His mind is somewhere far away
And I don't know how to get there
It's like
I'm way too serious
All he wants is to chill out
I'm always in a rush
He makes me wanna pull all my hair out
Like he doesn't even care
You, me
We're face to face
But we don't see eye to eye
Like fire and rain
You can drive me insane
But I can't stay mad at you for
anything
We're Venus and Mars
We're like different stars
But you're the harmony to every song I sing
And I wouldn't change a thing
I'm always trying to save the
day
Just wanna let my music play I'm all or nothing
But my feelings never change
Why does he try to read my
mind?
He try to read my mind
It's not good to psychoanalyze
I try to pick a fight
To get attention
That's what all of my friends say
You, Me
We're face to face
But we don't see eye to eye
Like fire and rain
You can drive me insane
But I can't stay mad at you for
anything
We're Venus and Mars
We're like different stars
But you're the harmony to every
song I sing
And I wouldn't change a thing
When he's yes, i'm no
When I hold on, he just lets go
We're perfectly imperfect
But I wouldn't change a thing, no
We're like fire and rain
You can drive me insane
But I can't stay mad at you for
anything
We're Venus and Mars
We're like different stars
But you're the harmony to every
song I sing
And I wouldn't change a thing
But I can't stay mad at you for
anything
We're Venus and Mars
We're like different stars
But you're the harmony to every
song I sing
And I wouldn't change a
Wouldn't change a thing
"Hasna! Bangun!" Suara pelan namun bernada kasar mengejutkan Hasna. Suara itu menarik Hasna jatuh dari terbangnya tadi. Selimutnya pun telah terbebas dari tubuhnya.
"Anak perempuan gak boleh bangun siang. Ayo, bantu ibu di dapur." Katanya lagi.
Hasna hanya menggosok matanya lalu kembali tertidur.
"Hasna! Bangun! Jangan jadi anak pemalas!" Seru wanita itu.
Dengan mata yang masih berat, Hasna turun dari tempat tidurnya sembari memeluk tubuh mungilnya sendiri. Memaksakan diri untuk mengikuti ibu tirinya, Asri, ke dapur.
"Nih. Tumbuk padinya." Pinta Asri.
Dengan tenaga kecil yang tentu saja belum terkumpul, Hasna menumbuk padi. Juga tentunya dengan mata yang terkantuk-kantuk.
"Yang bener numbuknya, Hasna. Dasar pemalas." Cibir Asri mengusir kantuk Hasna karena takut. Namun tetap saja, Hasna tak memiliki kekuatan yang cukup untuk menumbuk padi.
"Pake tenaga dong, Hasna. Yang bener!" Protes Asri lagi.
Wanita ini memang gemar memasak. Memang masakannya tak pernah gagal, selalu enak. Ia juga pandai mengolah aneka camilan. Namun lucunya semua hasil jadinya diberikan beberapa keping saja untuk Hasna, selebihnya beberapa toples penuh ia simpan dalam kamarnya.
Masakan telah siap. Hasna masih membantu menata makanan di atas meja makan atas perintah ibunya. Setelah siap, Asri mengalaskan nasi untuk Hasna, Arif dan dirinya. Hasna teridam karena nasi yang ada dalam piringnya hanya sedikit saja.
"Hasna, setelah ini tolong kamu cari kayu bakar di hutan ya?" Ujar Asri.
Hasna hanya menunduk. Lalu siap mencari kayu bakar setelahnya dan tentunya dengan keadaan masih lapar sebenarnya.
Terik matahari menyengat Hasna. Ubun-ubunnya terasa terhujam oleh panasnya. Beberapa bilah kayu bakar berhasil dikumpulkannya.
"Ini masih kurang, Hasna. Gih cari lagi yang lebih banyak."
Hasna menghela napas panjang. Langkahnya gontai menuju hutan.
"Non Hasna?" Sapa seorang pria beberapa meter dari Hasna dengan membawa kayu bakar.
"Pak Amir?" Hasna tersenyum lebar dengan mata yang berbinar.
"Non Hasna mau kemana?" Tanyanya sangat ramah.
"Hasna mau cari kayu bakar di hutan, Pak."
"Kamu mau cari kayu bakar? Bapakmu dimana?"
"Ada di rumah."
"Non sendiri?"
"Iya."
"Loh? Kenapa sendiri? Bapak kira non temenin bapak non cari kayu bakarnya."
Hasna hanya diam.
"Non Hasna udah makan belum?" Tanya Pak Amir.
"Udah, Pak. Tapi Hasna masih lapar."
"Non Hasna ikut ke rumah bapak, yuk!"
"Tapi Hasna mau cari kayu bakar, pak. Disuruh ibu."
"Udah. Nih, kayu bakar bapak buat Non Hasna aja semuanya." Senyum tulus mengembang di bibir Pak Amir. Disambut dengan senyum riang Hasna juga matanya yang berbinar.
Setibanya di rumah Pak Amir, istrinya yang baik hati, Ibu Ningsih menyambut Hasna dengan sangat ramah. Keduanya begitu menyayangi Hasna, juga Farida. Bagaimana tidak? Orang tua mereka begitu berjasa bagi hidup Pak Amir dan istrinya.
Ibu Ningsih memberi makan kepada Hasna. Walau seadanya, Hasna tidak pilihan terhadap makanan. Nafsu makannya sangat baik. Ia melahap habis makanan yang diberikan Ibu Ningsih. Sebenarnya, Pak Amir dan istrinya merasa iba pada Hasna. Mereka tahu betul bagaimana manjanya Hasna dan Farida pada ibunya yang baik hati dan selalu berlemah lembut. Namun sekarang, Hasna bak upik abu di rumahnya sendiri.
"Pak Amir, Bu Ningsih, makasih ya?" Ujar Hasna.
Pak Amir dan istrinya mengangguk-angguk.
"Non Hasna boleh main kesini kapan aja kalau Non bosen di rumah. Ya?" Ujar Ibu Ningsih.
Kayu bakar dari Pak Amir agaknya memuaskan hati Asri. Beberapa anak yang tak lain adalah teman-teman Hasna memanggil-manggil namanya dan mengajaknya bermain.
"Hasna gak akan main! Hasna mau bantu-bantu ibunya! Kalian main aja sendiri!" Seru Asri dari dalam rumah. Terang saja membubarkan anak-anak itu dari rumahnya.
Asri berprinsip waktu adalah kerja. Bagaimanapun prinsip pekerja keras wanita ini cukup bagus. Hanya saja anak kecil seusia Hasna berada dalam masanya bermain, bukan bekerja.
"Hasna, sekarang kamu cari rumput yang segar ya? Buat makanan sapi di belakang udah habis tuh." Ujar Asri.
Walau lelah, Hasna akan memenuhi perintah ibunya karena takut dimarahi.
Sekembalinya Hasna ke rumah dengan sekarung rumput segar. Ibunya tak puas juga.
"Apa ini? Sedikit ini. Harus padat terus penuh, Hasna! Ini gak padat. Jangan malas!" Seru ibunya sembari menumpahkan sekarung rumput itu.
"Sana. Cari lagi lebih banyak. Inget! Harus padat." Katanya lagi sembari menyerahkan karung itu.
Gadis kecil yang malang. Kini catatanku tetang hidupnya akan mulai berwarna-warni. Kita lihat kisah apa lagi yang akan menghiasi buku catatanku.
"Hasna, sayang... dengerin ibu, nak. Itu bukan rumah ibu lagi. Rumah ibu disini. Bapak udah nikah sama orang lain, ibu juga udah nikah sama orang lain." Jelas Jullaikha.
"Gak apa-apa atuh, Ibu. Balik lagi aja." Hasna tetap tak mau mengerti. Ia masih terlalu kecil untuk memahami perkara ini.
Hati Jullaikha semakin teriris oleh tangisan putrinya itu. Dalam hati ia mendesis
"Ah.. Hasna. Andai saja semudah itu untuk kembali."
Wanita itu turun menuntun gadisnya. Riak air sungai membelah desa. Gunung tinggi menjulang. Sawah dan ladang membentang. Kebun teh dan cengkeh luas terhampar. Jullaikha berjalan menyusuri setapak yang dahulu biasa dilaluinya jika hendak memanen teh atau cengkeh. Semua masih sama.
"Pak Amir, masih pagi udah kerja aja." Sapa Jullaikha pada salah satu petani yang dahulu bekerja di kebun tehnya. Yang hingga kini masih bekerja disana. Namun bekerja untuk nyonya lain yang berhasil menggantikannya.
"Eh, iya, bu. Ibu mau kemana sama Non Hasna?" Sahutnya masih sama juga seperti dulu.
"Hasna mau ke bapaknya katanya."
Pria itu hanya tersenyum lebar hingga Jullaikha berpamitan.
"Pak Amir, awasi terus kebunnya ya? Hati-hati sama hama."
Di balik punggung Jullaikha angin lembut merambatkan suara yang merdu dan indah walau hanya dalam sebaris kalimat. Jullaikha menghentikan langkahnya, akalnya berputar mencoba mencari sekeping memori. Suara itu, tak asing baginya. Lantas, Jullaikha menoleh pada sumber suara. Didapatinya wanita cantik sebaya dengannya sedang bercakap dengan Pak Amir. Wanita yang kini bertahta menjadi ratu di rumah dahulunya, bahkan di hati mantan suaminya. Melihat batang hidungnya atau bahkan hanya mendengar namanya itu cukup menyesakkan dadanya.
Jullaikha mulai menata hatinya lalu mengatur langkahnya menuju segudang kenangan, mengantarkan putrinya pada ayahnya. Lelaki itu datang dan membawa putrinya masuk. Hasna menoleh pada ibunya yang masih tersenyum padanya di balik pagar rumah. Jullaikha menatap punggung Arif yang semakin menjauh.
Aku mematung dalam harapan, sedangkan kamu tetap membeku dalam ketidakpedulian. Biarkan pelangi tak mampu menjaga indah goresan warnanya, tak sepertiku yang tak kan berhenti menjaga cintaku. Kamu telah berlayar jauh ke tengah samudera, tapi aku masih berharap kamu akan kembali ke dermaga yang sama.
Kehadiranku dalam perjalanannya hanya akan mengganggu dan menambah beban baginya. Cukup sakit baginya di dalam sana. Lebih sakit melihat aku terluka bersamanya.
Sakit memang rasanya berada di lautan sana walau bersamanya. Perjalanan buah mutiaranya tak akan mudah. Tapi jujur lebih sakit lagi ketika dihempaskan ke tanah.
Kini aku kembali mematung di tepi pantai yang sepi. Dengan segala luka yang kini menjadi saksi. Keras kepalanya aku yang tak pernah mau berhenti. Mencintainya sepenuh hati.
Pohon kelapa melambai. Memberitahuku soal pelangi yang memudar. Meski pelangi itu telah kehilangan warna dan keindahannya, tak akan berpengaruh memudarkan perasaan yang telah lama tertanam.
Kini aku sendiri. Membuang waktuku dengan angin, dengan air, dengan pasir, dengan karang. Menunggu kerang yang telah menjanjikan mutiara untukku. Entah. Entah kerang yang mana yang terlebih dulu datang padaku. Entah dengan siapa aku akan berdansa di bawah purnama itu. Entah aku masih sendiri atau aku telah menjelma menjadi ratu dengan mutiaranya menyaksikan sinar jingga di ujung cakrawala.
Maafkanlah aku dan sifat keras kepalaku. Kau tahu tak mudah bagiku untuk bertahan. Sejauh ini aku telah bertahan, maka tak kan mudah bagiku untuk menyerah saat aku kau buang.
Kerang abu-abuku, aku akan selalu menunggumu.
Bab 2
Pelangi Memudar
Mentari telah lenyap ditelan awan mendung yang menggantung di atas langit. Apalagi pelangi yang telah lutur warnanya. Perjalanan hidup mulai berbalik memusuhi si kecil Hasna. Sang ibu juga telah menikah lagi. Walau hatinya masih tetap terpaut pada suami pertamanya. Namun sayang, ayah tiri Hasna tidak menyayanginya, ia hanya mencintai ibunya.
"Ini, sayang. Kamu makan sendiri gak apa-apa ya? Ibu mau nyuci dulu." Ujar Jullaikha meletakan sepiring nasi dengan lauknya di hadapan Hasna. Lalu ia pergi meninggalkan Hasna.
Hasna mulai memasukkan makanan ke dalam mulut mungil dengan tangan kecilnya. Namun seketika ia terhenti. Batinnya merasa diawasi. Lantas ia menoleh ke arah belakang. Ternyata benar. Sang ayah tengah mengawasinya. Mengawasi dengan mata yang bak keluar dari tempatnya. Hasna tertunduk takut. Sekali lagi ia menoleh pada wajah ayah tirinya itu. Didapatinya masih saja memelototinya. Ia tertunduk lagi. Lalu ia menoleh lagi, masih juga sama. Ia tertunduk lagi sembari memainkan pakaiannya. Nafsu makannya entah lari kemana. Nasi di piringnya masih saja utuh tak tersentuh lagi.
"Lho, sayang. Kenapa berhenti makannya?" Tanya Jullaikha lembut membelai rambut Hasna.
Hasna hanya dia tertunduk sembari tetap memainkan pakaiannya. Lalu ia menoleh ke wajah ayah tirinya.
"Oh... kamu ya yang bikin dia berhenti makan? Kamu apain dia? Kamu pelototin ya?!" Sungut Jullaikha.
"Enggak kok." Elak suaminya.
Tak tahan dengan ayah tirinya, Hasna merajuk meminta diantar pada ayahnya. Jullaikha pun memenuhi keinginannya. Namun Zidan tetap tinggal dengan ibunya.
Jarum jam tak pernah berhenti berputar. Hari yang memilukan bagi Jullaikha semakin mendekat hendak memcekik lehernya. Rumor mengatakan mantan suaminya telah menemukan pengganti dirinya. Tak lama lagi saat-saat bahagia mereka tiba.
Jullaikha menghela nafas pilu dan menangis lirih. Tak apa jika ia kehilangan seluruh harta bendanya. Rumah dan seisinya, sawah, kebun dan ladang. Tak apa jika harus tergantikan dengan gubuk kecil dan hidup yang sederhana. Ia bisa mengikhlaskannya. Tapi menyaksikan lelaki kecintaannya bersanding dengan wanita lain. Perih lah mendera hati wanita malang itu. Namun paling tidak, ia masih memiliki putra kecilnya, Zidan juga Hasna yang bisa meredam segala laranya.
Tangisan manja Hasna tak hanya membelah angkasa, namun juga mematahkan hati sang ibu. Tak henti ia merajuk mengajak ibunya untuk pulang bersamanya ke rumah ayahnya. Sungguh setiap ia merajuk pulang itu amat melukai hati Jullaikha.
"Nak, nak, sayang. Dengerin ibu, sayang. Rumah itu bukan rumah ibu lagi, itu rumah bapak sama kamu. Ibu gak bisa pulang kesana. Kalau kamu mau kesana, ibu antar ya, cantik?" Tutur lembut Jullaikha dengan air matanya yang menganak sungai.
"Allahumashali 'ala Muhammad..."
Shalawat menggema di arah Timur. Dari jauh nampak rombongan. Jullaikha terperanjat. Mengira-ngira itu mereka yang tengah menari diatas air matanya. Lantas dengan gesit, Jullaikha membawa anak-anaknya masuk ke dalam rumah. Lalu ia menintip di balik celah-celah kecil bilik rumahnya.
"Teh, itu teh si Kang Arif bukan?" Bisik Nina.
Hening. Jullaikha tidak menjawabnya. Ia hanya terpaku menyaksikan rombongan pengantin yang melangkah semakin mendekat.
"Euleuuhh... Eteh! Bener itu mah si Kang Arif. Sama siapa dia teh nikahnya? Oh... sama si itu, si Teh Pipit. Deuh, teh meni banyak gitu seserahannya, liat." Bisik Nina yang memperkencang guncangan dalam dada Jullaikha.
Kristal bening tak kuasa terbendung lalu meluncur bebas dari pelupuk mata Jullaikha.
Part 1: Cinta Datang, Lalu Pergi
Seorang gadis cantik menggenggam segelas coklat panas di tangan kirinya. Sayangnya kemolekan parasnya bersembunyi dibalik bibirnya yang terkatup rapat, alisnya yang dikerutkan, pandangan matanya yang kosong. Gadis berbilang 18 pemilik nama Kirei itu memutar-mutarkan jemari lentiknya di rambut yang ikal bagian bawahnya. Ia menggeram.
"Aargh... bosen ngejomblo gue."
Rupanya itu yang keluar dari bibir manisnya. Rupanya itu yang tengah mengganggunya.
DDRRRTTT.... Ponsel pintarnya berdering nyaring memberitahukan pemiliknya ada pesan masuk. Rupanya pesan berupa catatan suara di line.
"Rei, gue mau cerita. Gue punya temen sekelas, namanya Fahriel. Dia juga les di tempat yang sama kayak gue. Nah tadi waktu les, dia mainin hp gue. Eh dia buka-buka chat line gue. Nah disana ada chat kita kan. Nah si Fahriel buka itu terus liat ava line lo. Nah dia bilang 'Eh, Nis, lo punya temen cakep ga bilang-bilang. Kenalin lah!' Nah terus dia kekeh banget tuh minta id line lo. Maksaaaa banget. Tapi belum gue kasih. Gue mau bilang dulu sama lo. Gimana? Gue kasih jangan?"
Dengan lincah jemari Kirei menulis balasan pada pesan sahabatnya, Nisrina.
"Kasih aja, Nis." Terkesan agak santai jawabannya. Ya itu dia karakter khas Kirei, terlihat cuek dan berselera tinggi untuk soal lelaki. Pernah terucap di bibirnya kalau dia tidak pernah asal mencari pacar, dia juga selalu pilih-pilih andai kisah cintanya kandas dia memiliki mantan yang juga terpilih. Sangat selektif memang ini juga penyebab dia bertahun-tahun menjomblo.
Tak lama kemudian notifikasi line memberitahukan ada teman baru untuk Kirei. Dilihat avatar lelaki ini, dia cukup rupawan bagi Kirei. Semenjak itu keduanya larut dalam percakapan yang berkepanjangan hingga berhari-hari.
"Video call yuk!" Ajak Fahriel.
Kirei menyetujuinya. Namun sayang sinyal yang kurang bagus menjadi penghambat kelancaran proses PDKT lewat video call itu. Akhirnya Kirei menulis pesan.
"Kamu download google hangouts dong. Pake itu buat video call."
Akhirnya Fahriel mengunduh aplikasi itu. Lalu, larutlah keduanya dalam percakapan hangat dalam video call. Kirei senang karena Fahriel juga ikut berusaha untuk itu.
Berhari-hari hanya bicara via chat karena kesibukan masing-masing yang sedang menempuh ujian praktik, Fahriel mengajak Kirei untuk bertemu di satu waktu senggang. Kirei menyetujuinya. Tapi Kirei meminta Fahriel untuk membawa laptopnya, karena laptop Kirei sedang rusak. Sementara Kirei memerlukan laptop untuk mengerjakan tugas proposalnya. Keduanya memutuskan bertemu hari Kamis pukul 5.30 sore, sepulang latihan ujian praktik Fahriel di sekolahnya.
Hari itu di sianga yang terik. Kirei baru menyelesaikan ujian praktik olah raganya. Sahabatanya Chacha mnghampirinya.
"Eh. Lo jadi ke rumah gue gak, Rei?"
"Jadi kok jadi. Sambil gue nunggu jam setengah enam."
"Wah ciiee jadi nih ketemuannya."
Kirei hanya tersenyum. Lalu keduanya pergi ke rumah Chacha. Ternyata Kirei menembukan komputer di sudut kamar Chacha.
"Eh, Cha. Gue pinjem komputer lo buat bikin tugas gue ya?"
"Pake, Rei. Pake ajaaa."
Asyik mengerjakan propsoal, waktu tak terasa berlalu. Jam sudah menunjukan pukul 5.15 sore.
"Ah, sial. Udah jam segini aja. Mana badan gue juga bau abis olah raga tadi. Mana bisa gue ketemu Fahriel kayak gini. Lagian proposalnya juga udah selesai." Batin Kirei.
Akhirnya Kirei memutuskan untuk membatalkan janji temunya dengan Fahriel dengan penjelasan yang sejujurnya. Rupanya itu adalah awal yang buruk dari hubungan mereka.
Keduanya memutuskan untuk bertemu dilain waktu. Hari Sabtu pukul 3 sore. Kirei sudah sangat cantik dengan gayanya.
"Fariel, aku udah siap." kata Kirei di chat linenya.
Tak ada jawabahan. Berlaki-kali diline masih belum ada jawaban. Hingga satu jam kemudian.
"Aduh. Rei. Sorry banget aku ketiduran. Hari ini jadi?"
"Ya menurut kamu? Aku udah siap nih."
"Oh iya. Sorry sorry. Kita berangkat sekarang? Aku belum mandi."
"Ya mandi sekarang lah."
"Ok ok."
Agaknya sikap Fahriel yang setengah-setengah itu sempurna membuat Kirei geram padanya. Lima belas menit berlalu.
"Kirei, bisa ga kita ketemunya diluar aja?"
"Kamu ga jadi jemput aku?"
"Iya."
"Ah... enggak enggak! Kamu kira aku cabe-cabean apa? Main temu-temu aja di pinggir jalan. Jemput aku. Kamu sebagai cowok harus bertanggung jawab dong. Pergi izin sama pamit dulu sama kakak aku."
"Iya dah... Aku jemput kamu setengah jam lagi."
Tiga puluh menit lagi lagi berlalu.
"Kirei, kosan kamu di Setia Budhi ya? Setia Budhi macet gak, Rei?"
"Ya kamu tau sendiri biasa juga gitu."
Entah apa kali ini. Fahriel seperti mencari alasan untuk tidak bertemu Kirei. Kirei sendiri pun kehilangan antusias bertemunya. Hingga bulat sudah kalimat batal bertemu dilontarkan Fahriel.
Namun selalu saja ada diantara keduanya yang berusaha untuk bertemu, walau tak pernah bersaaan, selalu hanya salah seorang saja.
Seperti kali ini. Keduanya berjanji akan bertemu sore ini juga untuk menonton. Tentunya setelah keduanya lagi-lagi gagal bertemu karena memiliki hasaat menonton film yang berbeda. Kali ini terserah film apa jadinya yang akan dipilih, entah Allegiant atau Batman vs Superman. Yang terpenting adalah jadi bertemu.
"Rei, gimana kalau kita nonton di PVJ yang jam sepuluh aja? Mobil aku dipake Papa. Dia pulang jam sbilanan." Lagi-lagi Fahriel memberikan celah kandasnya janji bertemu mereka.
"Kemaleman lah, Riel. Yaudah sih pake motor aja gapapa."
"Kan motor aku lagi diservice. Lagian aku juga disuruh nunggu di rumah. Mama aku juga ikut sama adik. Jadi rumah kosong."
Meski terbesit rasa kecewa, Kirei berusaha untuk bersikap biasa saja. Dia sadar akan rasa gengsinya yang tinggi yang selalu ingin diperjuangkan.
"Ya terserah kamu sih." Jawabnya menutupi kekecewaannya.
"Yaudah besok aja ya? Besok kan hari Minggu juga. Jadi kita bisa jalan-jalan seharian penuh."
"Ok."
"Ok. Besok jam delapan pagi aku jemput kamu ya?"
"Iya."
Hari esok telah tiba. Kirei membuka mata perlahan, namun seketika ia terperanjat dari tidurnya.
"Sial! Apa hari ini hari Minggu?"
Gadis cantik itu turun dari tempat tidurnya. Dan mendapati tulisan tangan di atas kertas pada meja belajar. Tertanda dari kakaknya, Luna.
"Rei, kakak pulang. Maaf ya gak bilang. Lagian kamu tidurnya nyenyak banget. Ini juga mendadak. Oh iya, di tempat cucian ada baju-baju kerja kakak. Tolong cuciin ya? Buat Senin. Dikit kok."
Kirei mendengus kesal. Lantas menghamburkan langkahnya menuju keranjang cucian.
Namun, setibanya disana, justri mata Kirei terbelalak lebar, bak hendak melompat dari tempatnya.
"Tuhaaann.... Sedikit banget kak cucian lo. Sedikiiitt! Berapa hari lo ga nyuci, kak?" Gerutu Kirei dengan nada kesal. Karena pada nyatanya cucian itu amat menggunung.
"Sial! Cucian baju-baju gue aja udah banyak. Ditambah punya kakak yang lebih banyak. Gini caranya gue gak jadi jalan sama Fahriel. Cucian gue numpuk gini!" Gerutunya lagi.
Di tempat lain. Seorang pemuda yang telah gagah dengan gayanya menerima panggilan masuk.
"Oh iya iya. Gak papa, Rei. Iya... Iya gapapa." Ujarnya dengan ponselnya.
"Iya. Yaudah lagian aku juga mau belajar sih buat mata ujian besok." katanya lagi.
Pria itu meraih kalender di meja belajarnya.
"Gimana kalau kita ketemu Rabu aja? Rabu tanggal merah tuh. Ok, Rabu ya? Dahh...."
Kirei menutup panggilannya. Lagi-lagi janji bertemu kandas.
"Padahal gue udah siap. Lo dendam apa sama gue?" Batin Fahriel.
Sementara di kamar mandi, Kirei telah soap mencuci.
"Dasar! Gue kira lo bakal ngajak jalannya siang aja abis gue nyuci." Gerutunya lagi sembari menatap tajam iphonenya.
"Tapi kok kayak gue yang balas dendam ya? Eh... enggak! Itu sih karma namanya. Gue juga ga sengaja batalin ketemunya kek dia!" Ujar Kirei lagi.
Tiba di hari Rabu. Tak usah panjang lebar. Lagi-lagi janji bertemu kali ini pun kandas. Namun dengan alasan yang lucu. Fahriel takut untuk pergi keluar rumah karena ada gerhana matahari total. Karena geram, Kirei memutuskan untuk jalan dengan temannya, Nisrina.
"Hahaha.... Jadi setelah lama lo PDKT sama dia sampe sekarang juga belum pernah ketemu?!"
Kirei tidak menjawab, ia hanya memainkan sedotan pada jus alpukatnya dengan ujung jarinya yang tentunya dengan bibir manis yang terkatup rapat.
"Sumpah! Parah banget si Fahriel! Mana sekarang juga nolak gegara GMT doang. Kuno banget sih! Ga sekalian aja ngumpet tuh di kolong kasurnya biar ga tompelan! Lagian kan Bandung ga kebagian GMT. Aneh!" Cibir Nisrina.
Kirei hanya menghisap sedikit jusnya, meneguknya menutupi kegeramannya.
"Eh sebenernya dia udah punya cewek belum sih?" tanya Kirei.
"Ya menurut lo? Dencan liat dia keukeuh banget, cerewet banget minta id line lo, kira-kira dia udah punya cewek?"
"Iya, belum sih. Tapi gue baper karena dia sampe sekeras itu minta id line gue sama lo. Udah dapet malah gini. Apa cuma gue aja yang baper ya? Sampe cerita sana sini tentang Fahriel. Kirim fotonya sama Mami buat minta pendapatnya."
"Kayaknya sih gitu. Lo terlalu baper. Siapa tau sebenernya dia juga lagi ngedeketin cewek lain. Bukan cuma lo."
"Iya, kayaknya. Padahal bisa jadi dia juga berjuang keras buat dapetin id line cewek lain. Ah, gue musti hati-hati nih, jangan baper."
Nisrina hanya bergumam lalu meneguk mocachinonya.
"Gue sebel, Nis. Dia perjuangin banget id line gue, awal-awal dia juga sama sama usaha buat vcallan sama gue dengan download google hangouts. Sekarang buat ketemu kagak ada tuh perjuangannya." Gerutu Kirei.
"Kirei. Nih ya. Suatu hubungan itu dibilang rumit kalau cuma salah satu aja yang berjuang."
"Lo bener. Kalau udah rumit mana mungkin gue maksain ya?"
"Nah. Udah lo jangan terlalu baper sama si Fahriel. Nanti gue tanyain kepastian sama dia."
"Eh maksud lo kepastian apaan?"
"Ya, dia bermaksud mainin lo aja atau mau seriusin lo? Biar kalau udah tau ya kita tau lo harus ngapain."
"Eh. Itu keliatannya gue yang ngebet jadian. Kagak! Jangan ngomongin apa-apa sama dia! Gengsi gue. Kek ngebet banget pacaran."
"Sial! Coba gue tanya lagi alasan lo masih jomblo?"
"Ya kali Alphard lebih cepet laku dari Avanza. Hahaha..."
"Asem lo!"
Keduanya tertawa.
Semenjak itu setiap janji bertemu yang lainnya selalu kandas. Entah karena mata Fahriel merah, Kirei yang sibuk, Fahriel yang takut keluar rumah ketika gerhana matahari total, perbedaan pilihan menonton, mobil dibawa ayah, jaga rumah, dan lainnya. Semenjak itu juga pupusnya harapan Kirei pada Fahriel. Ia pernah mencoba menghilang dari kehidupan Fahriel. Sekali dua kali, Fahriel mencari-cari, selanjutnya Fahriel yang benar-benar hilang dari kehidupan Kirei tanpa alasan. Terang saja Kirei dilanda badai kegalauan. Perasaannya telah begitu jauh terbawa Fahriel.
"Buat apa lo dateng kalau lo mau pergi, Riel?"
Hai, Diana! Hari itu juga kamu menatap lamat kartu peserta ujian nasionalmu. Pertanyaan mencuat mengoyak akal. Apa yang akan kamu lakukan setelah hari itu? Akan menjadi apa dirimu ini setelah tiga tahun kedepan? Lima tahun kedepan? Sepuluh tahun kedepan?
Sekarang. Ketika kekuatan waktu yang tak bisa terhenti berputar. Setiap detiknya mencabik hatimu tanpa ampun karena terus bergerak. Memaksamu untuk terus melangkah. Sedangkan kamu masih ingin tinggal bersama masa-masa berhargamu itu bersama sahabat-sahabatmu.
Sekarang saatnya aku bertanya. Sudah menjadi apakah dirimu sekarang? Sudahkan sukses dalam karirmu seperti mimpimu dahulu? Sudah tercapaikah cita-cita untuk menjadi pengusaha itu? Sudah berhasilkah dengan karya-karyamu? Sudah berapa buku yang kau terbitkan? Apa kamu sudah menikah sekarang? Apa juga yang telah kamu lakukan untuk orang-orang yang kamu sayangi?
Aku harap aku tak salah menjawab. Aku ucapkan SELAMAT! Utuk semua jawabanmu, atas kesuksesan pencapaianmu.
Riak air menambah jelas keindahan alam di desa ini. Daun-daun sepanjang jalan elok melambai tertiup angin. Sungai yang jernih membelah desa. Dua bocah berlari-lari saling mengejar. Ayahnya hanya menatap pilu diatas kebahagian kedua putrinya.
Di titik tempat lain terdapat sebilik pancuran yang biasa digunakan satu keluarga untuk melakukan hajatnya. Di dalamnya ada seorang gadis yang hanya mengenakan kain samping untuk menutupi tubuhnya sedang mencuci.
"Eteeehh.... mana lagi cuciannya atuh? Mana punya Ujang Zidan?" Seru gadis itu setengah berteriak sembari berdiri.
"Itu udah di cuciannya!" Seru seorang wanita dari dalam rumah.
"Mana iiihh??"
"Sebentar atuh. Kamu mah harus dintunjukin terus nyari barang teh!"
Terdengar suara bocah mendekat.
"Nina?" Sapa seorang pria. Gadis itu menoleh ke sumber suara.
"Eh... Kang Arif. Mau apa, kang?" Tanya gadis itu sedikit ketus.
"Akang mau ketemu teteh kamu. Ada?"
Wanita itu muncul dari balik pintu rumah.
"Tuh! Bajunya disitu!" Wanita itu menunjuk-nunjuk ke arah cucian adiknya.
"Ibuuuuuu!!!!!" Seru bocah-bocah memeluk kaki ibunya. Sang ibu terperanjat menyadari kehadiran kedua putri kecilnya.
"Hasna? Farida?" Ibu memeluk putrinya.
"Anak-anak merindukan kamu. Jadi aku antar mereka ke sini. Biar mereka tinggal dulu di sini beberapa hari. Nanti aku jemput lagi." Ujar Arif.
"Terima kasih." Ujar Julaikha dengan mata indahnya yang berbinar bak kejora masuk di bola matanya. Yang cahayanya memancarkan cinta. Ya, wanita itu masih mencintai mantan suaminya, bahkan rindu membuncah di dadanya. Tapi Arif, entah kemana cintanya dahulu. Ia begitu tak ingin memandang wajah Julaikha, wanita yang dahulu pernah ia kasihi.
"Ibu, pulang yuk!" Ujar Hasna dengan senyum manjanya.
Sang pria datang mengetuk pintu rumah gadis kecintaannya dengan hati di tangannya. Dengan harapan dapat mengetuk pula hati orang tua sang gadis untuk meminta anaknya menjadi teman hidup sampai akhir hayatnya.
Terjadilah percakapan, negosiasi, melobby. Agak sulit rupanya bagi si pria meminta hati calon ayah mertuanya untuk menghalalkan hubungannya dingan sang putri.
"Bapak tahu? Dulu Rasulullah tidak pernah memaksa siapapun soal menikah. Dulu ada mantan sepasang suami istri. Pasca perceraian, laki-laki itu selalu membuntuti mantan istrinya untuk memastikan mantan istrinya baik-baik saja. Sembari membuntuti dia selalu menangis karena kecintaannya yang masih mendalam pada wanita itu. Rasulullah yang melihat itu menyarankan pada wanita itu untuk kembali rujuk pada mantan suaminya karena kasihan. Tapi wanita itu menolak dan Rasulullah tidak memaksanya." Ujar si pria sedikit menyindir ayah si gadis yang telah sedikit memaksanya perihal rencana pernikahan putrinya.
"Pak, saya mencintai putri bapak. Saya pastikan akan menjaga dia dan membahagiakan dia." Bujuk pria itu lagi.
Entah alasan apa dia tetap tidak menyerahkan putrinya. Hingga akhir cerita pria itu menyerah memperjuangkan cintanya. Gadis penurut itu juga hanya pasrah dengan kehendak orang tuanya.
Tiba pria kedua yang hendak melamar sang putri. Hasilnya sama, ia ditolak ayahnya. Datang juga pria ketiga, keempat, kelima. Tetap sama.
Waktu terus berlalu. Tahun-tahun silih berganti. Gadis itu telah berusia 40 tahun. Nasib kurang baik membuatnya menjadi seorang perawan tua. Dia jatuh sakit. Hari demi hari kesehatannya terus memburuk. Hatinya mulai menyalahkan ayahnya.
"Andai ayah menerima lelaki pilihanku dulu, mungkin saat ini aku sedang bersama seorang suami dan anak-anak yang mengurusku. Bagaimana ayah?! Pilihanku tak ada yang tepat dimatanya, tapi pilihannya sendiripun tak ada untukku." Umpatnya.
Wanita itu terkulai lemah di ranjangnya. Suara paraunya memanggil-manggil ayahnya. Ayahnya mendekat. Selangkah.
"Ayah, mendekatlah selangkah lalu katakan aamiin." Ujar anaknya.
"Aamiin..." Ujar ayahnya sembari mengangkat tangannya setelah melangkahkan kakinya selangkah.
"Mendekatlah lagi ayah." Ujar anaknya.
"Aamiin..." Kata ayahnya lagi sembari melangkah.
"Mendekat lagi, ayah." Katanya lagi.
"Aamiin..." Kata ayahnya lagi.
Terus saja begitu hingga ayahnya tiba di dekat putrinya.
"Ayah, tahukah ayah apa yang saya do'akan dan ayah aamiinkan?" Tanya sang anak lirih.
"Apa, nak?" Tanya ayah.
"Saya berdoa agar Allah menolak kedatangan ayah di surganya sebagaimana ayah menolak setiap lelaki yang hendak menikahiku. Dan ayah telah mengaminkannya." Ujar wanita itu di akhir hayatnya.
Pagi itu. Matahati hangat menyinari isi bumi. Jukaikha membawa bayi kecilnya ke luar rumah ayahnya. Memandikannya dengan cahaya mentari lagi. Tangis bayi itu terhenti. Tergantikan dengan mulut kecilnya yang menguap dan tubuhnya yang menggeliat lantas kembali tertidur dengan tenang.
"Julaikha!" Seru wanita seusianya, ibu Dedeh, yang tengah menuntun putri seusia Hasna, Vida namanya.
"Kamu sudah melahirkan?" Katanya lagi sembari mendekat.
"Euleuh... meni ganteeeng. Siapa namanya?" Tanyanya lagi sembari mencolek pipi bayi mungil itu.
"Aku belum tahu." Sahut Julaikha.
"Lah? Kenapa belum tahu? Ngobrol sama suami kamu buat namanya." Ujarnya lagi.
Kepedihan di hati Julaikha semakin terkuak. Bagai sayatan pisau yang ditaburi garam diatasnya.
"Julaikha?" Tanya wanita itu memecah lamunan Julaikha.
"Eh.. Zidan. Namanya Zidan."
*****
Pria itu bermain dengan burung peliharaannya di beranda rumah.
"Punten pak Arif." Sapa wanita yang tak kalah cantiknya dengan Julaikha di depan rumah yang telah lama memendam rasa pada Arif, Zainab. Namun, tak pernah ada satu orangpun yang sadar akan perasaan Zainab kepada Arif selama ini.
"Mangga." Sahutnya.
Kedua putri kecilnya berlari ke arahnya.
"Bapak, kita ke rumah kakek." Hasna merajuk.
"Kita ke ibu." Farida juga merajuk.
"Kenapa Ibu belum pulang, Pak?" Tanya Hasna lagi.
"Udah seminggu, Pak. Ayo kita jemput ibu pulang." Timpa Farida.
Arif hanya menghela nafas. Bagaimana juga cara menjelaskan soal perceraian kepada anak sekecil ini?
"Nak, dengarkan bapak. Ibu kalian gak bakal pulang lagi ke rumah ini. Dia bakal tinggal di rumah kakek." Jelas Arif.
"Tapi kenapa? Ini kan rumah ibu?" Bisik Hasna lirih.
Mata kedua putrinya berkaca-kaca. Kristal bening membendung dan tak kuasa tertahan maka meluncurlah menganak sungai diriringi suara jerit tangis mereka memanggil-manggil ibunya.
"Sshh... Sh Sh... Nak, hei. Dengerin ayah dulu, sayang. Hei, jangan nangis dulu." Ujar ayahnya menenangkan. Tangisnya terhenti sejenak.
"Bapak sama ibu sudah...." Kalimat Arif terhenti. Tak mungkin ia menjelaskan soal perceraian pada putrinya yang masih kecil ini. Mereka terlalu kecil untuk mengerti masalahnya.
"Sudah.... gak bersama lagi karena satu alasan orang dewasa. Anak-anak seperti kalian suatu saat nanti pasti mengerti sendiri." Tuturnya lagi.
"Tapi, pak. Hasna ingin ketemu ibu." Hasna menangis lagi.
"Kalau Hasna sama Farida ingin ketemu ibu, bapak antar ke rumah kakek. Kalian boleh menginap di sana. Nanti bapak jemput lagi." Tutur ayahnya.
Kedua gadis kecil itu berlari tanpa berkata apa-apa. Beberapa menit kemudian mereka kembali dan menarik tangan ayahnya.
"Ayo ke rumah kakek, pak."
Suara kasar pria itu menggelegar membelah langit. Hasna dan Farida yang saat itu sedang bermain dengan belasan ekor kelinci di beranda rumah menoleh ke arah pintu. Keduanya berlari mendekati sumber suara mengerikan itu. Didapatinya seorang ibu yang sedang menggendong bayi kecilnya dengan tentengan tas besar. Air mata di pipinya menganak sungai. Apa daya? Suaminya tak percaya lagi padanya, ia pun sampai hati mengusirnya. Wanita itu pasrah berjalan membawa bayi kecilnya.
"Ibu? Ibu mau kemana?" Tanya Hasna dengan alisnya yang mengkerut. Mata bulanya berkaca-kaca.
"Ibu mau ke rumah kakek, nak." Wanita itu tersenyum dalam tangisnya.
"Kenapa ibu bawa baju banyak itu?" Tanya Farida.
"Ibu mau menginap di sana."
"Ibu kenapa menangis?"
"Ibu kangen sama kakek, nak."
"Hasna juga, bu. Hasna mau ikut ke rumah kakek."
"Farida juga, bu." Kedua gadis belia itu memeluk kaki ibunya. Sang ibu berlutut di hadapan buah cintanya.
"Nak, kalian harus tinggal di sini. Tunggu di sini, ya? Siapa yang bantu ayah di sini kalau kita semua pergi ke rumah kakek?" Bujuk sang ibu.
Rasa sayang kepada ibu dan ayah memang sama besarnya bagi kedua putri kecil itu. Hati keduanya menolak untuk tinggal, hati keduanya ingin ikut dengan sang ibu. Apalagi Hasna yang duniapun tahu bagaimana manjanya dia pada ibunya, tak pernah ingin dipisahkan dengan ibunya. Namun, apa mau dikata? Bujukan lembut dengan sedikit bumbu kebohongan sang ibu berhasil mencuri hati mereka. Ya. Apa yang mereka pikirkan? Yang mereka tahu hanya ibunya menangis karena merindukan ayahnya dan semuanya baik-baik saja. Hingga akhirnya kedua putri kecil Julaikha mengangguk tanda setuju. Dikecupnya pipi manis kedua gadis kecil itu.
*****
Malam ini purnama menggantung indah di hamparan kertas hitam yang luas. Bulat sempurna. Hanya ada secuil awan di dekatnya. Cahayanya menyelusup masuk dari jendela.
"Pppssstt.... Hasna." Bisik Farida yang tengah berbaring di tempat tidurnya.
"Iya?" Bisik Hasna juga dengan menoleh pada tempat tidur kakaknya.
"Kamu belum tidur?"
"Belum. Kamu?" Tanya sang adik dengan begitu lugunya. Jelas saja kakaknya belum tertidur dengan pertanyaannya.
"Belum." Jawab Farida tak kalah lugunya.
"Kenapa kamu belum tidur?" Tanya Hasna.
"Aku belum ngantuk."
"Aku gak bisa tidur."
"Aku juga."
"Iya, aku juga."
Hening sejenak. Hasna bangun dari tidurnya. Ia melangkah mendekat ke arah kakaknya. Lalu tidur di samping Farida.
"Kenapa kamu tidur di sini?" Tanya Farida.
"Aku mau ke rumah kakek. Aku kangen ibu." Sahutnya.
"Aku juga."
"Ibu lagi apa ya?"
*****
Tangis bayi memecah keheningan malam. Tak ada suara jangkrik terdengar. Mungkin tersamarkan suara bayi ini. Wanita itu menangis menenangkan bayi dalam dekapannya.
Bagai burung mengarungi angkasa tanpa sayap. Kenyataan yang paling menyakitkan dalam hidup adalah ketika mengarungi kisah tanpa kepercayaan.
Perut itu telah membengkak. Ibu duduk di beranda rumah. Ia membuka sedikit bajunya keatas. Membebaskan permukaan kulit perut buncitnya dibelai angin. Tangan lembutnya mengusap-usap lembut memutar. Hasna. Gadis manja yang terkadang nakal itu jahil. Ia meraih batu di dekatnya, lalu melemparkannya tepat pada perut sang Ibu.
TUK!
"Aww!" Pekik Ibu. Ia hanya menyeringai kesakitan sembari kembali mengusap perutnya.
"Ada apa anak ini? Ssshhh... Sakit." Gerutunya lagi.
Entah apa. Tapi rasa sakit itu tak berhenti. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh Ibu. Semakin kuat. Semakin menyakitkan. Perutnya terasa seperti diremas kuat-kuat. Ibu mulai berteriak kesakitan. Keringat dinginnya bercucuran. Ayah yang mungkin mendengar pekikan itu menghambur langkahnya keluar. Mengantar Ibu ke klinik bersalin terdekat.
*****
Tangis bayi menggema di ruangan itu. Ibu telah berbesar hati diantar suaminya ke klinik ini. Ia berbesar hati, mungkin bayi kecil ini akan menghapus jarak diantaranya dengan suaminya berbulan-bulan ini.
Wanita itu menggenggam jemari suaminya. Suaminya menoleh. Ia tersenyum.
"Terima kasih." Ujarnya dengan suara yang parau.
"Setelah ini saya urus perceraian kita."
Terasa sembilu menyayat hati wanita itu. Rasa sakitnya melahirkan telah hilang tersingkirkan oleh tajamnya kalimat itu. Jemarinya semakin erat menggenggam tangan suaminya.
"Pak, kenapa bapak masih bersikeras menceraikan aku? Apa salah aku?" Air matanya kembali menganak sungai di pipinya.
Hening.
"Bayi ini anak kamu, Pak. Demi Tuhan ini anak kamu." Suara paraunya tetap terdengar.
Suaminya tetap tak mau mendengar. Ia hanya berlalu keluar ruangan.
Hari silih berganti minggu, hingga empat bulan telah berlalu. Pohon jeruk yang dahulu ditanam Hasna tumbuh sempurna. Pohonnya berbuah lebat. Jeruknya begitu dangkal diraih. Memudahkan Hasna untuk memetiknya. Buahnya sangat manis. Warnanya jingga dan besar buahnya. Hasna merawat pohon itu dengan sangat baik. Setiap pagi ia menyirami pohon jeruk itu. Hingga pagi ini pun ia sedang menyirami pohon jeruk itu.
"ANAK SIAPA YANG KAMU KANDUNG?!" Bentak seorang pria dari dalam rumah.
"Kamu tuduh aku selingkuh? Ini anak kamu!" Seru wanita membela diri.
Hasna melirik ke mata Farida yang juga sedang menyirami pohon jeruk itu. Keduanya saling bertatapan lalu melangkah ke dalam rumah.
"ZULAIKHA! ANAK SIAPA YANG KAMU KANDUNG SEKARANG?!" Ayah terlihat sangat marah sembari menggenggam erat rambut panjang Ibu.
"Ini anakmu, Pak." Ibu terus menangis.
"Bohong! Selama ini aku di Jakarta!" Ayah tetap tidak percaya.
"Demi Tuhan, ini anakmu..." Isak tangis Ibu semakin terdengar lirih.
Hasna dan Farida menyaksikan kekerasan itu di balik lemari hias. Keduanya nampak ketakutan.
"Hasna, aku takut." Ujar Farida.
"Aku juga." Jawab Hasna.
Ayah yang menyadari keberadaan putrinya langsung melepaskan Ibunya.
"Mau kemana kalian, anak-anak?" Tanya sang ayah.
"M... Mau ke kamar, Pak." Jawab Farida.
"Sana. Masuklah ke kamar kalian." Ujar ayah begitu lembut.
Hasna dan Farida berlari kecil dengan ketakutan melewati orang tuanya. Mata Hasna sedikit melirik Ibunya yang tengah terisak.
Mungkin roda telah bosan terdiam. Ia mulai bergerak memutar. Roda kehidupan telah berputar. Akankah ini menjadi awal kisah memilukan gadis kecil itu? Ataukan selalu Roda akan kembali berputar ke atas?
"Setelah anak itu lahir. Kita cerai."
Hasna sedang terlelap begitu nyenyak. Ibu hendak memasak. Namun, belum ada tetangga yang menyalakan apinya. Ibu sengaja pergi ke rumah Nenek Darsih. Rumahnya cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Ia sengaja berjalan untuk meminta api ke rumah Nenek Darsih.
Wanita itu tiba di rumahnya. Dengan api di obornya. Yang susah payah ia jaga agar tidak mati tertiup angin pagi. Berjalan entah berapa kilometer jauhnya untuk meminta api. Namun, manja. Sangat manja. Ibu kembali disambut tangisan Hasna yang memekakkan. Bocah itu berteriak-teriak bertanya kemana ibunya pergi.
"Sshhh.... Ibu ada di sini, nak." Ibu merangkul tubuh mungil Hasna. Namun apa mau dikata? Hasna sudah terlanjur marah.
"Ibu dari mana? Habis minta api?" Tanya Hasna sambil tetap menangis.
"Iya, sayang. Ibu habis minta api dari Pak Hasan." Ujar sang Ibu menenangkan. Pak Hasan adalah pria tua baik hati di samping rumah.
"Ibu bohong! Hasna tau! Ibu habis minta api dari Nenek Darsih, kan?!" Hasna tetap marah dalam tangisnya.
"Enggak, nak. Ibu gak bohong. Ibu minta api dari Pak Hasan."
"Ibu bohong! Buang apinya! Hasna mau ikut ke rumah Nenek Darsih!"
Ibu hanya terdiam. Menghela nafas. Tentu. Berjalan sejauh itu untuk mendapatkan api, begitu dapat apinya harus dipadamkan, lalu kembali lagi berjalan jauh untuk meminta api? Melelahkan.
"Sayaaang.... minta apinya ke Pak Hasan aja ya? Pak Hasan udah punya api tuh." Bujuk sang Ibu.
"Ke rumah Nenek Darsiiih!" Hasna tetap bersikeras.
Akhirnya Ibu mengalah. Ibu memadamkan apinya lalu menggendong Hasna kembali ke rumah Nenek Darsih untuk meminta api.
Semua orang dapat melihat sifat manja Hasna. Sifat cengeng Hasna. Yang sulit untuk berhenti jika sudah menangis. Namun sang Ibu tetap berlemah lembut memperlakukan sifat menjengkelkannya. Semua orang tahu Hasna anak yang manja pada ibu dan ayahnya.
"Mmmmkk!" Ibu menutup mulutnya, menahan mual.
"Mmmkk! Mmmk!" Katanya lagi sembari berlalu ke kamar mandi.
Wanita itu kembali setelah merasa lebih baik. Kembali ia ke meja makannya. Menyiapkan perbelakan adik bungsunya.
"Teh, mana ikannya?" Tanya bibinya Hasna.
"Itu di atas meja." Sahut Ibu.
Hasna asyik bermain bekel dengan Farida.
"Ikan buat Pak Guru mana?" Tanyanya lagi.
"Itu diatasnya."
"Ayam buat temen-temenku mana?"
"Di rantang itu udah siap semuanya."
"Mangganya mana?"
"Di tas."
"Yaudah, udah siap semuanya kok. Nina pergi piknik dulu."
"Hati-hati."
Kicauan burung nyaring terdengar. Mencuri perhatian Hasna dan Farida. Di halaman rumah, tergantung sarang burung dengan burungnya yang molek. Warnanya biru menyala dengan merah di lehernya yang juga merah menyala, matanya bulat, paruhnya melekuk indah, cantik. Hasna dan Farida jatuh cinta pada burung itu. Burung baru mungkin milik ayah mereka. Ibu datang menghampirinya. Nampak paruh burung itu keluar nyaris mematuk kepala kecil Hasna. Dengan sigap Ibu menarik Hasna.
"Paruhnya tajam." Ujar Ibu.
Sang ibu melangkah masuk lalu kembali dengan membawa sebilah pisau daging, mengambil burung itu dari sarangnya. Burung cantik itu direbahkan. Paruhnya ditahan oleh lengan kirinya. Tangan kanannya siap memotong paruh tajam namun indah itu. Namun,
PAK! PAK!
Burung itu mengepakkan sayapnya lalu terbang dengan bebasnya. Suaranya nyaring terdengar meledek dan begitu bahagia. Mungkin dia lega piau tajam itu tak berhasil menyentuhnya.
"Ehh... Biarin lah. Burungnya lepas." Ujar ibu.
Riak air kolam ikan belakang rumah menambah suasana syahdu pagi itu. Embun pagi masih menggelayut manja pada daunnya. Kicauan burung bernyanyi bersahutan menyambut sang mentari yanga malu-malu bersinar di balik pegunungan. Sinar sang fajar menyelusup masuk ke dalam bilik kamar dua bocah itu. Ditambah lagi ibu yang membukakan tirai sekaligus jendela kamarnya. Semakin leluasa bagi sang fajar menyinari kedua pasang mata yang begitu masih lengket terpejam. Keduanya menggeliat. Meregangkan tubuhnya. Tidurnya terganggu oleh sinar pagi itu. Ibu hanya tersenyum. Walau tak tega membangunkan putrinya, apa daya ia telah berjanji mengajak putrinya berjalan-jalan ke kebun-kebunnya.
Hasna begitu semangat bangun dari tidurnya lantas bersiap-siap. Sementara Farida nampak kedua matanya masih begitu lengket untuk terbuka, pikirannya masih melayang-layang di alam mimpi. Pada akhirnya hanya Hasna yang ikut bersama ibunya.
Hamparan kebun teh terbentang luas di depan mata. Terhampar hijau. Beberapa orang penjaga kebun teh ini tengah berjalan tak jauh dari tampat Hasna berdiri saat ini.
"Gimana tehnya?" Tanya Ibu.
"Baik, Nya. Subur. Sebentar lagi pucuknya tumbuh. Kita panen daun tehnya." Sahut salah seorang wanita di sana dengan ramah.
Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu melanjutkan jalan-jalan paginya.
Tiba di kebun cengkeh. Di sana ada pula pria paruh baya yang tengah berjalan. Ia sadar kedatangan Hasna dengan ibunya.
"Eh... Non Hasna. Pagi pagi udah bangun, rajinnya. Mau kemana, Non?" Tanyanya.
"Jalan-jalan, Abah." Sahut Hasna. Ibu hanya tersenyum.
Lanjut lagi ke kebun pisang, kebun mangga dan nanas serta sawah. Untuk mengontrol keadaanya. Semua dalam keadaan baik. Entah bagaimana cara orang tua Hasna mengumpulkan semua kebun kebun itu. Bahkan hidup tanpa uang pun pasti mereka akan tetap hidup. Bagaimana tidak? Beras ada di sawah. Sayuran dan buah-buahan ada di kebun, untuk lauk-pauknya ada ikan di kolam yang beranak-pinak, atau ternak ayam dan telur-telurnya, untuk susu ada ada sapi di belakang rumahnya. Atau bahkan semua itu dapat dijadikan ladang usaha dengan menjual setiap hasil panennya ke kota. Manis sudah hidup keluarga kecil bahagia ini.
Tiba di belakang rumah. Ada sepetak tanah tersisa, belum tertanam apa-apa.
"Hasna, kamu mau tanah ini ditanam apa?" Tanya ibu.
"Hasna mau jeruk, bu." Sahut gadis kecil lugu itu.
Bab 1
Perkenalan hidup gadis Kecil
Layaknya bulir-bulir air yang berjatuhan dari langit, memiliki kesan magis, yang juga memiliki takdir pendaratan yang berbeda-beda. Ada yang jatuh menhujam genting, dedaunan terlebih dahulu lalu barulah jatuh ke tanah, ada pula yang langsung menghujam tanah, menciptakan bulatan-bulatan kecil di atas genangan air.
Seperti takdir manusia yang juga berbeda-beda. Termasuk juga takdir gadis kecil yang tengah berbahagia bermain-main dengan hujan bersama teman-temannya.
Tasikmalaya, tahun 1968. Aku hanyalah seorang yang diutus Tuhan untuk mencatat setiap peristiwa yang dialami oleh gadis kecil itu. Hari ini tak banyak tugas untukku. Hanya mengawasi dan merekam setiap kejadian gadis kecil yang tengah bermain di bawah naungan hujan. Gadis itu berbilang 6, sebut saja namnya Hasna.
"Hujan! Hujaaaannn!!! Jangan berhenti!!" Seru Hasna sembari meloloskan bajunya. Kini ia hanya berbalut celana pendek dan kaus dalam, begitu pula dengan dua orang teman kecilnya dan satu orang kakak perempuan yang perbedaan usia dengannya hanya terpaut satu tahun saja.
Entah apa yang mereka lakukan. Hanya bermain perosotan di teras rumah yang licin. Dengan menggunakan sehelai baju mereka begitu riang bermain perosotan. Walaupun hujan telah lama reda, bocah-bocah itu tetap saja bahagia bermain dengan sisa air hujan.
"Farida! Hasna! Udah, sayang. Masuk yuk! Mandi. Nanti kamu masuk angin kalau terlalu lama hujan-hujanan." Seru wanita paruh baya di bibir pintu besar itu.
"Bentar, Bu. Hasna masih mau main sama temen-temen."
"Yaudah, temen-temen Hasna juga ikut mandi di sini. Yuk!"
"Nanti, Bu...." Elak Farida
Sang ibu hanya menghela nafas panjang sembari tersenyum.
"Hasna, Farida, bapak baru pulang dari Jakarta. Bapak bawa baju baru yang banyak buat kamu. Buat Elis sama Rumana juga. Bagus-bagus. Masuk yuk, nak! Kita mandi."
Mata bulat menggemaskan ketiga bocah itu terbelalak lebar, bibirnya pun tersenyum lebar sembari saling melempar tatap.
"Bapak pulang?!" Hasna meyakinkan. Ibunya hanya mengangguk tersenyum. Disambut lari-lari kecil dari keempat bocah itu. Berlari kegirangan.
Ketiga bocah manis itu mandi bersama. Ibu yang memandikan mereka berempat. Hingga bersihlah sudah tubuh kecil mereka. Lantas Hasna juga Farida berlari menuju ayahnya. Dibuntuti Elis dan Rumanah, sahabat baiknya.
"Ini baju Hasna!"
"Ini buat Farida!"
Elis dan Rumana hanya terdiam. Hasna menggengam lembut tangan Elis dan Rumana.
"Ayo! Kalian pilih juga baju yang kalian suka." Ujar gadis manis itu. Yang akhirnya keempat bocah yang sudah nampak saudara itu berebut baju yang dibawa oleh sang ayah dari Jakarta.
Perkenalkan. Inilah kehidupan Hasna. Begitu indah. Dia memiliki segalanya. Orang tuanya yang mashur, memiliki rumah dimana-mana, tanah dan ragam kebun yang luas, sawah yang terhampar luas dan subur, keluarganya begitu terpandang dan terhormat, putri putri kecilnya yang begitu manja dan baik hati, orang tuanya pun yang dermawan dan tetap rendah hati, nyaris tak ada satupun masyarakat yang tak menganggap mereka saudara. Lebih dari itu, adalah keluarga bahagia yang tak ternilai harganya yang dimiliki oleh putri kecil itu, Hasna.
Bab 1
Pertemuan Pertama
Jarak. Entah kata apa lagi yang rasanya lebih menyakitkan dari jarak. Mungkin juga, menunggu. Menunggu sesuatu. Entah itu apa. Entah untuk apa. Menyakitkan. Walau orang bilang menunggu itu hal singkat yang indah. Seindah bola merah yang menggantung di kaki langit, menatapnya tertelan oleh batas lautan diujung senja. Dirasa indah. Tentu. Akan menyenangkan untuk dikenang ketika apa yang kita tunggu datang menghampiri dan menjadi milik kita.
Pagi ini aku berbahagia. Seseorang yang kusebut kekasih yang telah lama pergi jauh dariku akan kembali menginjakkan kakinya tepat di hadapanku. Dunia ini terasa sehari berada di tanganku. Hatiku begitu berdebar, jantungku berdegup kencang, bibirku tak bisa henti tersenyum. Akan seperti apa pertemuan itu rasanya?
Kakiku begitu mantap memijak lahan stasiun kereta api ini. Cepat-cepat tanganku merogoh isi tas. Mencari ponsel lantas menghubungi dirinya.
"Aku udah di stasiun. Kamu di mana?" Mataku begitu berbinar bercakap di telepon.
"Oh ya? Aku di loby." Sahutnya disebrang sana.
"Aku juga. Kamu di mananya?"
"Aku di tempat duduknya. Kamu di mananya?"
"Aku di deket...." ku edarkan pandanganku ke sekitar,
"Pintu keluar utara." Lanjutku.
"Pintu keluar utara?"
Hening...
"Aduh... Di, batre hpku lowbat." Katanya.
"Aduuuhhh....." aku melenguh.
"Perhatian. Kereta Api Bandung - Bekasi akan berangkat lima menit lagi. Para penumpang dipersilakan memasuki kereta." Suara pengumuman sedikit menggema di ruangan ini.
"Lho? Di? Kok ada pengumuman?" Tanyanya lagi.
"Maksud kamu?"
"Pengumuman keberangkatan kereta."
"Aku tau. Emang ada."
Hening....
"Jangan-jangan..." katanya. Mataku terbelalak.
"Kamu ada di stasiun mana?" Tanyaku.
"Stasiun Kiara Condong."
"Eehhh???? Aku di stasiun Bandung!"
Hai. Namaku Diana. Sudah bertahun-tahun aku terjebak dalam perangkap LDR. Kekasihku, Ahfie, dia menjadi seorang perantau sejak lulus SD. Lima tahun merantau di tanah kota hujan, Bogor. Kini ia memulai kembali perjalanan pendidikannya di salah satu universitas negeri ternama di Jogjakarta.
***
Lonceng telah mengalun. Saatnya
satu anak, satu guru dan satu buku
mengubah dunia. Lingkungan lapangan
menjadi hening karena seluruh warga
sekolah berada di kelasnya masing-
masing untuk meraup ilmu dari guru
mereka.
Ibuku menuntunku masuk. Ternyata
tujuannya adalah ruang kepala
sekolah.Wanita paruh baya yang baik
hati dan ramah itu menyambutku
dengan senang hati dan senyum
hangatnya. Dia membawaku ke salah
satu kelas. Kelas 5. Aku berfikir
lagi, sekolah seperti ini mungkin
teman-temannyapun ramah-ramah
dan sangat baik.
Tibalah aku di ambang pintu kelas,
ibu kepala sekolah yang baik hati itu
menyerahkanku pada seorang guru
muda yang sedang mengajar pada
saat itu. Ternyata saat itu kelas
sedang belajar bahasa Inggris. Guru
bahasa Inggris itu mengajakku masuk
dengan tatapan sangat menyambut.
Sekilas sebelum dia menyilakanku
untuk memperkenalkan diri, aku
menatap ruang kelas itu.
"Ayo, perkenalkan diri kamu."
Suara lembut guruku memecah
pikiranku.
"Hai semuanya! Namaku Diana
Tasha. Aku biasa di panggil Diana.
Aku dari Bandung." Ujarku simpel dan
mengembangkan senyumku selebar
mungkin.
Saat itu aku tidak menyadari,
tenyata katanya ada salah satu anak
laki-laki yang tidak begitu suka
padaku sejak pertama kali melihatku.
Ibu guru yang baik itu
mempersilakanku memilih tempat
duduk.
"DI SINI! SINI! DUDUK DI SINI!"
Seru anak-anak perempuan yang
duduk di barisan paling ujung sambil
menunjuk tempat duduk kosong
untukku. Hanya ada satu orang anak
perempuan di sana yang akan menjadi
teman sebangku untukku. Teman yang
kemudian aku tahu namanya, Viani.
***
Lonceng terdengar lagi.
Menandakan berakhirnya kegiatan
belajar mengajar. Sekarang aku tahu
aku memiliki sahabat baru yang
sangat ramah dan baik padaku.
Ternyata secepat itu aku dapat
menerima lingkungan baruku. Aku
mulai menikmati semuanya. Sekolah
ini pasti akan
memberiku sahabat yang lebih
berharga dari emas sekalipun.
Cinta. Memang tiada habisnya menjadi buah pembicaraan setiap insan. Kadang terasa manis kadang pula pahit di hati ini ketika bibir masih basah membicarakan soal cinta. Bukan hanya orang dewasa hingga manula atau remaja muda hingga akhir, mungkin bocahpun sudah bicara soal cinta. Ketika setiap insan mulai memilih dan memilah teman hidupnya. untuk menjadi pendamping susah senangnya, menjadi raja atau ratu di singgasana hatinya, menjadi sandaran pelepas penat, sandaran pada bahu kekarnya atau bahu lembutnya, teman hidup yang akan setia menjadi sahabat, seorang pasangan yang mungkin kita akan tua dan mati dalam pelukannya.
Seperti kisah pria yang satu ini. Yang tengah mencari teman hidupnya. Yang kini tengah berbahagia membereskan pakaiannya ke dalam koper. Ia akan pulang dan menghentikan petualangannya sebagai perantau. Selesai. Ia merogoh kantung di celananya. Menemukan ponselnya.
"Assalamu'alaikum." Sapa renyah suara seorang yang di rindukan jauh dari tanah air sana.
"Wa'alaikum salam. Ayah?" Mata pria itu berbinar bak kejora mendengar suara ayahnya di sebrang sana.
"Nak! Kapan kamu pulang?" Sahut sang ayah yang tak kalah girangnya.
"Insya Allah besok pagi, ayah. Saya baru selesai packing ini."
"Oh? Jadi besok? Baiklah ayah jemput kamu di bandara ya?"
"Iya, ayah."
Hening sepersekian detik.
"Oh iya, nak. Untuk pernikahan kamu nanti. Kamu sudah yakin dengan calomu itu? Nanti pulang kamu mau bertemu dengannya? Kamu kan belum pernah melihatnya." Ujar sang ayah.
"Tidak perlu, ayah. Saya percaya dengan pilihan ayah. Kita bertemu setelah menikah saja."
"Baiklah kalau begitu."
Percakapan lantas terus berlanjut hingga rindu keduanya terobati. Tetap saja tak akan ada penawar rindu selain dengan bertemu.
Bicara soal pendamping hidup. Sang ayah telah memilihkannya. Dan anaknya begitu percaya dengan pilihan ayahnya. Wanita itu pasti berakhlak dan paras yang cantik lagi penurut.
*****
Tiba lah pria itu di rumahnya. Sekali lagi orang tuanya memastikan kemantapan hati anaknya untuk menikahi gadis itu. Dan dengan mantap pria itu setuju.
Hari pernikahan datang juga. Begitu pula dengan malam hari. Para tamu undangan telah pulang. Hanya tersisa dua orang lelaki dan perempuan yang baru saja sah bersatu dalam sebuah bilik. Dibukanya kain cadar penutup wajah istrinya. Keduanya begitu berdebar. Pria itu membukanya dengan sangat perlahan. Wajahnya begitu penasaran.
Kain cadar itu berhasil terlepas. Menampakkan wajah sang istri. Suaminya hanya tertunduk. Dalam hati mengumpat.
"Kenapa ayah memilihkan wanita ini untuk dijadikan istriku? Tidak cantik rupanya. Mengapa ayah mengecewakanku? Padahal aku sudah percaya padanya."
Sang istri terdiam melihat garis wajah kecewa suaminya. Ia menyadari bahwa parasnya memang tidak begitu cantik. Wajar dirasanya jika suaminya tidak tertarik kepadanya.
Malam itu. Keduanya tertidur. Tak sedikitpun keduanya saling bersentuhan. Sang istri terbangun. Ia melirik jam kecil di mejanya, pukul 2 pagi. Ia memberanikan diri menyentuh suaminya yang tengah nyenyak tertidur. Suaminya hanya bergumam. Ia kembali menepuk lembut lengan suaminya, suaminya hanya bergumam. Ia mulai mengguncang-guncang tubuh suaminya,
"Saya capek. Salat malamlah sendiri dulu. Saya ingin tidur." ujar suaminya.
Tetap ingin mendirikan salat malam bersama suaminya, ia mulai memberanikan diri mencipratkan air pada wajah suaminya.
"Ah! Apa sih kamu ini?! Kenapa kamu memaksa?!" Agaknya sang suami tidak terima kenikmatan tidurnya terhenti saat itu.
Kristal bening mulai menggenang di kelopak mata sang istri. Sejauh ini masih terbendung air matanya. Walau nada bicara suaminya begitu terasa bak sembilu menghujam dirinya.
"Maafkan aku. Aku tahu kamu begitu kecewa dengan parasku. Kamu tak akan mencintaiku. Tapi kabulkanlah permintaanku. Kali ini saja." Kristal bening itu berhasil meluncur di pipinya, tak terbendung lagi di kelopak matanya.
"Apa?"
"Aku pernah mendengar ulasan hadis, yang berkata bahwa Rasul pernah bersabda, siapapun yang salat malam bersama suaminya maka dia akan berdoa agar Allah selalu merahmati mereka. Maka salatlah bersamaku malam ini. Imami aku. Aku hanya ingin mewujudkan hadist ini. Itu telah menjadi cita-citaku sejak lama. Setelah itu, terserah kamu. Kamu boleh menceraikan aku. Tapi aku mohon, wujudkanlah cita-citaku ini." Dalih sang istri.
Suaminya hanya mengangguk mengerti. Lantas keduanya mendirikan salat malam. Sang istri begitu menikmati setiap lantunan ayat suci yang dibacakan suaminya. Walau dalam hati ia bersedih karena setelahnya, ia akan menjada.
Salat pun telah selesai ditegakkan. Sang istri tertunduk bersiap menerima kata talak suaminya. Suaminya membalikan tubuhnya. Sang istri semakin tertunduk. Namun, didapatinya jemari lembut asing mencubit dagunya, sedikit memainkannya, lalu mengangkat wajahnya, menatap matanya lembut penuh kasih.
"Aku baru saja jatuh cinta. Mana ingin aku berpisah dengan wanita yang aku cintai?" Ujar sang suami begitu lembut. Melihat wajah istrinya hanya keheranan dengan mata yang berkaca-kaca, ia hanya mencium kening dan membawa istrinya ke dalam pelukannya.
"Seharusnya aku tidak meragukan ayah yang telah memilihkan kamu untuk jadi teman hidup. Sekarang kamu tak perlu khawatir aku akan menceraikanmu. Kamu juga tak perlu malu dengan keterbatasanmu. Kecantikan hatimu yang paling penting." tuturnya lagi.
Semakin hangat, semakin larut sang istri dalam pelukan suaminya.