Kehadiranku dalam perjalanannya hanya akan mengganggu dan menambah beban baginya. Cukup sakit baginya di dalam sana. Lebih sakit melihat aku terluka bersamanya.
Sakit memang rasanya berada di lautan sana walau bersamanya. Perjalanan buah mutiaranya tak akan mudah. Tapi jujur lebih sakit lagi ketika dihempaskan ke tanah.
Kini aku kembali mematung di tepi pantai yang sepi. Dengan segala luka yang kini menjadi saksi. Keras kepalanya aku yang tak pernah mau berhenti. Mencintainya sepenuh hati.
Pohon kelapa melambai. Memberitahuku soal pelangi yang memudar. Meski pelangi itu telah kehilangan warna dan keindahannya, tak akan berpengaruh memudarkan perasaan yang telah lama tertanam.
Kini aku sendiri. Membuang waktuku dengan angin, dengan air, dengan pasir, dengan karang. Menunggu kerang yang telah menjanjikan mutiara untukku. Entah. Entah kerang yang mana yang terlebih dulu datang padaku. Entah dengan siapa aku akan berdansa di bawah purnama itu. Entah aku masih sendiri atau aku telah menjelma menjadi ratu dengan mutiaranya menyaksikan sinar jingga di ujung cakrawala.
Maafkanlah aku dan sifat keras kepalaku. Kau tahu tak mudah bagiku untuk bertahan. Sejauh ini aku telah bertahan, maka tak kan mudah bagiku untuk menyerah saat aku kau buang.
Kerang abu-abuku, aku akan selalu menunggumu.
Bab 2
Pelangi Memudar
Mentari telah lenyap ditelan awan mendung yang menggantung di atas langit. Apalagi pelangi yang telah lutur warnanya. Perjalanan hidup mulai berbalik memusuhi si kecil Hasna. Sang ibu juga telah menikah lagi. Walau hatinya masih tetap terpaut pada suami pertamanya. Namun sayang, ayah tiri Hasna tidak menyayanginya, ia hanya mencintai ibunya.
"Ini, sayang. Kamu makan sendiri gak apa-apa ya? Ibu mau nyuci dulu." Ujar Jullaikha meletakan sepiring nasi dengan lauknya di hadapan Hasna. Lalu ia pergi meninggalkan Hasna.
Hasna mulai memasukkan makanan ke dalam mulut mungil dengan tangan kecilnya. Namun seketika ia terhenti. Batinnya merasa diawasi. Lantas ia menoleh ke arah belakang. Ternyata benar. Sang ayah tengah mengawasinya. Mengawasi dengan mata yang bak keluar dari tempatnya. Hasna tertunduk takut. Sekali lagi ia menoleh pada wajah ayah tirinya itu. Didapatinya masih saja memelototinya. Ia tertunduk lagi. Lalu ia menoleh lagi, masih juga sama. Ia tertunduk lagi sembari memainkan pakaiannya. Nafsu makannya entah lari kemana. Nasi di piringnya masih saja utuh tak tersentuh lagi.
"Lho, sayang. Kenapa berhenti makannya?" Tanya Jullaikha lembut membelai rambut Hasna.
Hasna hanya dia tertunduk sembari tetap memainkan pakaiannya. Lalu ia menoleh ke wajah ayah tirinya.
"Oh... kamu ya yang bikin dia berhenti makan? Kamu apain dia? Kamu pelototin ya?!" Sungut Jullaikha.
"Enggak kok." Elak suaminya.
Tak tahan dengan ayah tirinya, Hasna merajuk meminta diantar pada ayahnya. Jullaikha pun memenuhi keinginannya. Namun Zidan tetap tinggal dengan ibunya.
Jarum jam tak pernah berhenti berputar. Hari yang memilukan bagi Jullaikha semakin mendekat hendak memcekik lehernya. Rumor mengatakan mantan suaminya telah menemukan pengganti dirinya. Tak lama lagi saat-saat bahagia mereka tiba.
Jullaikha menghela nafas pilu dan menangis lirih. Tak apa jika ia kehilangan seluruh harta bendanya. Rumah dan seisinya, sawah, kebun dan ladang. Tak apa jika harus tergantikan dengan gubuk kecil dan hidup yang sederhana. Ia bisa mengikhlaskannya. Tapi menyaksikan lelaki kecintaannya bersanding dengan wanita lain. Perih lah mendera hati wanita malang itu. Namun paling tidak, ia masih memiliki putra kecilnya, Zidan juga Hasna yang bisa meredam segala laranya.
Tangisan manja Hasna tak hanya membelah angkasa, namun juga mematahkan hati sang ibu. Tak henti ia merajuk mengajak ibunya untuk pulang bersamanya ke rumah ayahnya. Sungguh setiap ia merajuk pulang itu amat melukai hati Jullaikha.
"Nak, nak, sayang. Dengerin ibu, sayang. Rumah itu bukan rumah ibu lagi, itu rumah bapak sama kamu. Ibu gak bisa pulang kesana. Kalau kamu mau kesana, ibu antar ya, cantik?" Tutur lembut Jullaikha dengan air matanya yang menganak sungai.
"Allahumashali 'ala Muhammad..."
Shalawat menggema di arah Timur. Dari jauh nampak rombongan. Jullaikha terperanjat. Mengira-ngira itu mereka yang tengah menari diatas air matanya. Lantas dengan gesit, Jullaikha membawa anak-anaknya masuk ke dalam rumah. Lalu ia menintip di balik celah-celah kecil bilik rumahnya.
"Teh, itu teh si Kang Arif bukan?" Bisik Nina.
Hening. Jullaikha tidak menjawabnya. Ia hanya terpaku menyaksikan rombongan pengantin yang melangkah semakin mendekat.
"Euleuuhh... Eteh! Bener itu mah si Kang Arif. Sama siapa dia teh nikahnya? Oh... sama si itu, si Teh Pipit. Deuh, teh meni banyak gitu seserahannya, liat." Bisik Nina yang memperkencang guncangan dalam dada Jullaikha.
Kristal bening tak kuasa terbendung lalu meluncur bebas dari pelupuk mata Jullaikha.
Part 1: Cinta Datang, Lalu Pergi
Seorang gadis cantik menggenggam segelas coklat panas di tangan kirinya. Sayangnya kemolekan parasnya bersembunyi dibalik bibirnya yang terkatup rapat, alisnya yang dikerutkan, pandangan matanya yang kosong. Gadis berbilang 18 pemilik nama Kirei itu memutar-mutarkan jemari lentiknya di rambut yang ikal bagian bawahnya. Ia menggeram.
"Aargh... bosen ngejomblo gue."
Rupanya itu yang keluar dari bibir manisnya. Rupanya itu yang tengah mengganggunya.
DDRRRTTT.... Ponsel pintarnya berdering nyaring memberitahukan pemiliknya ada pesan masuk. Rupanya pesan berupa catatan suara di line.
"Rei, gue mau cerita. Gue punya temen sekelas, namanya Fahriel. Dia juga les di tempat yang sama kayak gue. Nah tadi waktu les, dia mainin hp gue. Eh dia buka-buka chat line gue. Nah disana ada chat kita kan. Nah si Fahriel buka itu terus liat ava line lo. Nah dia bilang 'Eh, Nis, lo punya temen cakep ga bilang-bilang. Kenalin lah!' Nah terus dia kekeh banget tuh minta id line lo. Maksaaaa banget. Tapi belum gue kasih. Gue mau bilang dulu sama lo. Gimana? Gue kasih jangan?"
Dengan lincah jemari Kirei menulis balasan pada pesan sahabatnya, Nisrina.
"Kasih aja, Nis." Terkesan agak santai jawabannya. Ya itu dia karakter khas Kirei, terlihat cuek dan berselera tinggi untuk soal lelaki. Pernah terucap di bibirnya kalau dia tidak pernah asal mencari pacar, dia juga selalu pilih-pilih andai kisah cintanya kandas dia memiliki mantan yang juga terpilih. Sangat selektif memang ini juga penyebab dia bertahun-tahun menjomblo.
Tak lama kemudian notifikasi line memberitahukan ada teman baru untuk Kirei. Dilihat avatar lelaki ini, dia cukup rupawan bagi Kirei. Semenjak itu keduanya larut dalam percakapan yang berkepanjangan hingga berhari-hari.
"Video call yuk!" Ajak Fahriel.
Kirei menyetujuinya. Namun sayang sinyal yang kurang bagus menjadi penghambat kelancaran proses PDKT lewat video call itu. Akhirnya Kirei menulis pesan.
"Kamu download google hangouts dong. Pake itu buat video call."
Akhirnya Fahriel mengunduh aplikasi itu. Lalu, larutlah keduanya dalam percakapan hangat dalam video call. Kirei senang karena Fahriel juga ikut berusaha untuk itu.
Berhari-hari hanya bicara via chat karena kesibukan masing-masing yang sedang menempuh ujian praktik, Fahriel mengajak Kirei untuk bertemu di satu waktu senggang. Kirei menyetujuinya. Tapi Kirei meminta Fahriel untuk membawa laptopnya, karena laptop Kirei sedang rusak. Sementara Kirei memerlukan laptop untuk mengerjakan tugas proposalnya. Keduanya memutuskan bertemu hari Kamis pukul 5.30 sore, sepulang latihan ujian praktik Fahriel di sekolahnya.
Hari itu di sianga yang terik. Kirei baru menyelesaikan ujian praktik olah raganya. Sahabatanya Chacha mnghampirinya.
"Eh. Lo jadi ke rumah gue gak, Rei?"
"Jadi kok jadi. Sambil gue nunggu jam setengah enam."
"Wah ciiee jadi nih ketemuannya."
Kirei hanya tersenyum. Lalu keduanya pergi ke rumah Chacha. Ternyata Kirei menembukan komputer di sudut kamar Chacha.
"Eh, Cha. Gue pinjem komputer lo buat bikin tugas gue ya?"
"Pake, Rei. Pake ajaaa."
Asyik mengerjakan propsoal, waktu tak terasa berlalu. Jam sudah menunjukan pukul 5.15 sore.
"Ah, sial. Udah jam segini aja. Mana badan gue juga bau abis olah raga tadi. Mana bisa gue ketemu Fahriel kayak gini. Lagian proposalnya juga udah selesai." Batin Kirei.
Akhirnya Kirei memutuskan untuk membatalkan janji temunya dengan Fahriel dengan penjelasan yang sejujurnya. Rupanya itu adalah awal yang buruk dari hubungan mereka.
Keduanya memutuskan untuk bertemu dilain waktu. Hari Sabtu pukul 3 sore. Kirei sudah sangat cantik dengan gayanya.
"Fariel, aku udah siap." kata Kirei di chat linenya.
Tak ada jawabahan. Berlaki-kali diline masih belum ada jawaban. Hingga satu jam kemudian.
"Aduh. Rei. Sorry banget aku ketiduran. Hari ini jadi?"
"Ya menurut kamu? Aku udah siap nih."
"Oh iya. Sorry sorry. Kita berangkat sekarang? Aku belum mandi."
"Ya mandi sekarang lah."
"Ok ok."
Agaknya sikap Fahriel yang setengah-setengah itu sempurna membuat Kirei geram padanya. Lima belas menit berlalu.
"Kirei, bisa ga kita ketemunya diluar aja?"
"Kamu ga jadi jemput aku?"
"Iya."
"Ah... enggak enggak! Kamu kira aku cabe-cabean apa? Main temu-temu aja di pinggir jalan. Jemput aku. Kamu sebagai cowok harus bertanggung jawab dong. Pergi izin sama pamit dulu sama kakak aku."
"Iya dah... Aku jemput kamu setengah jam lagi."
Tiga puluh menit lagi lagi berlalu.
"Kirei, kosan kamu di Setia Budhi ya? Setia Budhi macet gak, Rei?"
"Ya kamu tau sendiri biasa juga gitu."
Entah apa kali ini. Fahriel seperti mencari alasan untuk tidak bertemu Kirei. Kirei sendiri pun kehilangan antusias bertemunya. Hingga bulat sudah kalimat batal bertemu dilontarkan Fahriel.
Namun selalu saja ada diantara keduanya yang berusaha untuk bertemu, walau tak pernah bersaaan, selalu hanya salah seorang saja.
Seperti kali ini. Keduanya berjanji akan bertemu sore ini juga untuk menonton. Tentunya setelah keduanya lagi-lagi gagal bertemu karena memiliki hasaat menonton film yang berbeda. Kali ini terserah film apa jadinya yang akan dipilih, entah Allegiant atau Batman vs Superman. Yang terpenting adalah jadi bertemu.
"Rei, gimana kalau kita nonton di PVJ yang jam sepuluh aja? Mobil aku dipake Papa. Dia pulang jam sbilanan." Lagi-lagi Fahriel memberikan celah kandasnya janji bertemu mereka.
"Kemaleman lah, Riel. Yaudah sih pake motor aja gapapa."
"Kan motor aku lagi diservice. Lagian aku juga disuruh nunggu di rumah. Mama aku juga ikut sama adik. Jadi rumah kosong."
Meski terbesit rasa kecewa, Kirei berusaha untuk bersikap biasa saja. Dia sadar akan rasa gengsinya yang tinggi yang selalu ingin diperjuangkan.
"Ya terserah kamu sih." Jawabnya menutupi kekecewaannya.
"Yaudah besok aja ya? Besok kan hari Minggu juga. Jadi kita bisa jalan-jalan seharian penuh."
"Ok."
"Ok. Besok jam delapan pagi aku jemput kamu ya?"
"Iya."
Hari esok telah tiba. Kirei membuka mata perlahan, namun seketika ia terperanjat dari tidurnya.
"Sial! Apa hari ini hari Minggu?"
Gadis cantik itu turun dari tempat tidurnya. Dan mendapati tulisan tangan di atas kertas pada meja belajar. Tertanda dari kakaknya, Luna.
"Rei, kakak pulang. Maaf ya gak bilang. Lagian kamu tidurnya nyenyak banget. Ini juga mendadak. Oh iya, di tempat cucian ada baju-baju kerja kakak. Tolong cuciin ya? Buat Senin. Dikit kok."
Kirei mendengus kesal. Lantas menghamburkan langkahnya menuju keranjang cucian.
Namun, setibanya disana, justri mata Kirei terbelalak lebar, bak hendak melompat dari tempatnya.
"Tuhaaann.... Sedikit banget kak cucian lo. Sedikiiitt! Berapa hari lo ga nyuci, kak?" Gerutu Kirei dengan nada kesal. Karena pada nyatanya cucian itu amat menggunung.
"Sial! Cucian baju-baju gue aja udah banyak. Ditambah punya kakak yang lebih banyak. Gini caranya gue gak jadi jalan sama Fahriel. Cucian gue numpuk gini!" Gerutunya lagi.
Di tempat lain. Seorang pemuda yang telah gagah dengan gayanya menerima panggilan masuk.
"Oh iya iya. Gak papa, Rei. Iya... Iya gapapa." Ujarnya dengan ponselnya.
"Iya. Yaudah lagian aku juga mau belajar sih buat mata ujian besok." katanya lagi.
Pria itu meraih kalender di meja belajarnya.
"Gimana kalau kita ketemu Rabu aja? Rabu tanggal merah tuh. Ok, Rabu ya? Dahh...."
Kirei menutup panggilannya. Lagi-lagi janji bertemu kandas.
"Padahal gue udah siap. Lo dendam apa sama gue?" Batin Fahriel.
Sementara di kamar mandi, Kirei telah soap mencuci.
"Dasar! Gue kira lo bakal ngajak jalannya siang aja abis gue nyuci." Gerutunya lagi sembari menatap tajam iphonenya.
"Tapi kok kayak gue yang balas dendam ya? Eh... enggak! Itu sih karma namanya. Gue juga ga sengaja batalin ketemunya kek dia!" Ujar Kirei lagi.
Tiba di hari Rabu. Tak usah panjang lebar. Lagi-lagi janji bertemu kali ini pun kandas. Namun dengan alasan yang lucu. Fahriel takut untuk pergi keluar rumah karena ada gerhana matahari total. Karena geram, Kirei memutuskan untuk jalan dengan temannya, Nisrina.
"Hahaha.... Jadi setelah lama lo PDKT sama dia sampe sekarang juga belum pernah ketemu?!"
Kirei tidak menjawab, ia hanya memainkan sedotan pada jus alpukatnya dengan ujung jarinya yang tentunya dengan bibir manis yang terkatup rapat.
"Sumpah! Parah banget si Fahriel! Mana sekarang juga nolak gegara GMT doang. Kuno banget sih! Ga sekalian aja ngumpet tuh di kolong kasurnya biar ga tompelan! Lagian kan Bandung ga kebagian GMT. Aneh!" Cibir Nisrina.
Kirei hanya menghisap sedikit jusnya, meneguknya menutupi kegeramannya.
"Eh sebenernya dia udah punya cewek belum sih?" tanya Kirei.
"Ya menurut lo? Dencan liat dia keukeuh banget, cerewet banget minta id line lo, kira-kira dia udah punya cewek?"
"Iya, belum sih. Tapi gue baper karena dia sampe sekeras itu minta id line gue sama lo. Udah dapet malah gini. Apa cuma gue aja yang baper ya? Sampe cerita sana sini tentang Fahriel. Kirim fotonya sama Mami buat minta pendapatnya."
"Kayaknya sih gitu. Lo terlalu baper. Siapa tau sebenernya dia juga lagi ngedeketin cewek lain. Bukan cuma lo."
"Iya, kayaknya. Padahal bisa jadi dia juga berjuang keras buat dapetin id line cewek lain. Ah, gue musti hati-hati nih, jangan baper."
Nisrina hanya bergumam lalu meneguk mocachinonya.
"Gue sebel, Nis. Dia perjuangin banget id line gue, awal-awal dia juga sama sama usaha buat vcallan sama gue dengan download google hangouts. Sekarang buat ketemu kagak ada tuh perjuangannya." Gerutu Kirei.
"Kirei. Nih ya. Suatu hubungan itu dibilang rumit kalau cuma salah satu aja yang berjuang."
"Lo bener. Kalau udah rumit mana mungkin gue maksain ya?"
"Nah. Udah lo jangan terlalu baper sama si Fahriel. Nanti gue tanyain kepastian sama dia."
"Eh maksud lo kepastian apaan?"
"Ya, dia bermaksud mainin lo aja atau mau seriusin lo? Biar kalau udah tau ya kita tau lo harus ngapain."
"Eh. Itu keliatannya gue yang ngebet jadian. Kagak! Jangan ngomongin apa-apa sama dia! Gengsi gue. Kek ngebet banget pacaran."
"Sial! Coba gue tanya lagi alasan lo masih jomblo?"
"Ya kali Alphard lebih cepet laku dari Avanza. Hahaha..."
"Asem lo!"
Keduanya tertawa.
Semenjak itu setiap janji bertemu yang lainnya selalu kandas. Entah karena mata Fahriel merah, Kirei yang sibuk, Fahriel yang takut keluar rumah ketika gerhana matahari total, perbedaan pilihan menonton, mobil dibawa ayah, jaga rumah, dan lainnya. Semenjak itu juga pupusnya harapan Kirei pada Fahriel. Ia pernah mencoba menghilang dari kehidupan Fahriel. Sekali dua kali, Fahriel mencari-cari, selanjutnya Fahriel yang benar-benar hilang dari kehidupan Kirei tanpa alasan. Terang saja Kirei dilanda badai kegalauan. Perasaannya telah begitu jauh terbawa Fahriel.
"Buat apa lo dateng kalau lo mau pergi, Riel?"