Goresan demi goresan make up begitu jeli diukir oleh tangan mahir Diva. Livia telah begitu cantik dengan riasan karya Diva itu. Dilengkapi dengan gaun mewah yang disampaikan di tubuhnya. Dan lebih lengkap lagi dengan calon mempelai pria yang juga telah tampan menunggu calon istrinya selesai dipolesi make up.
"Siap?" Tanya Fauzan pada Diva.
"Sebentar, Zan. Antingnya satu lagi." Ujar Diva.
Meski Diva begitu gila mencintai Fauzan dan selalu terhipnotis oleh suaranya, agaknya ia begitu profesional saat merias. Sehingga Fauzanpun tak akan mengganggu konsentrasinya sedikitpun.
"Udah, siap." Ujar Diva.
"Oke." Sahut Fauzan.
"Eh, bro. Liat calon pengantin kamu secantik apa." Canda Fauzan sembari menepuk bahu Anton. Tapi Anton hanya tersenyum disambut dengan sikap malu malunya Livia. Dibalik kalimat pujian Fauzan untuk Livia ternyata Diva berbesar hati.
"Dia pasti lagi coba puji riasan aku." Bisik Diva dalam hati.
"Eh... calon pengantin malah malu malu gitu. Udah ah. Yuk foto dulu. Siap kan?" Ujar Fauzan.
Singkat cerita, Fauzan begitu piawai mengatur posisi-posisi dan berbagai gaya untuk mengindahkan hasil jepretannya. Sama seperti Diva, Fauzanpun begitu profesional saat memotret. Tak akan ada sedikitpun yang mampu mengganggu konsentrasinya. Dari belakang, Diva terfokus pada Fauzan.
Selesai sudah pemotretan prawedding Anton dan Livia. Fauzan nampaknya tertarik dengan busana pengantin milik Diva di galerinya.
"Gaun Livia tadi bagus, Div. Itu kamu yang buat atau kamu beli design orang lain?" Tanya Fauzan.
"Aku yang design." Sahut Diva.
"Wah. Keren, Div." Puji Fauzan, Diva hanya tersenyum.
"Hari ini jadwal kamu apa?" Tanya Fauzan.
"Udah sih. Ini aja." Sahut Diva.
"Ga sibuk dong?"
"Enggak. Kenapa?"
"Kebetulan. Aku tertarik sama busana pengantin kamu. Aku mau liat-liat. Boleh ya?"
"Busana pengantin laki-laki atau perempuan?"
"Dua-duanya."
"Oke. Ayo."
*****
Keduanya telah tiba di galeri busana pengantin tradisional modern rancangan Diva. Terdengar berkali-kali Fauzan bersiul memuji karya Diva. Dan, mata Fauzan tertuju pada sepasang busana pengantin pria dan wanita di ujung ruangan sana.
"Yang ini, Div. Ini juga keren banget loh. Ini juga rancangan kamu?" Tanya Fauzan.
"Iya." Sahut Diva.
"Keren keren." Puji Fauzan. Terang saja hati gadis itu melayang tinggi.
"Hasil foto-foto kamu juga keren-keren, kok." Sahut Diva.
"Ah. Cuma amatiran."
"Itu keren, Fauzan."
"Iya iya. Fauzan emang keren kok." Ujar lelaki itu sembari menengadahkan wajahnya berlagak sombong dalam candaannya.
Diva hanya tertawa. Lalu hening.
"Eh, Diva, kok kamu asyik ngejomblo aja sih? Kapan nikah?" Tanya Fauzan.
"Mmm... masih nunggu yang cocok aja." Jawab Diva.
"Emang kamu mau calon suami yang gimana?"
Melayang jauh hati Diva, berbesar hati bahwa Fauzan tengah mencongkel-congkel informasi agar ia mampu menjadi suami idamannya.
"Yang setia, yang bertanggung jawab, yang berwibawa, yang bijaksana, yang berkharisma, yang tegas, yang bisa melindungi aku, yang..." kalimat Diva terhenti ketika bola matanya bertemu dengan bola mata Fauzan yang nampak menunggu akhir kalimatnya dengan mengeryitkan alisnya memesona.
"Gatau lagi. Hehe." Sambung Diva sedikit gugup. Fauzan hanya tertawa renyah.
"Apa menurut kamu aku udah cocok jadi suami idaman kamu itu?" Tanya Fauzan.
Merah sudah kedua pipi Diva. Hatinya begitu berdegup kencang.
"Apa dia bermaksud melamarku sekarang?" Bisik Diva dalam hati sembari menatap tegang wajah tampan nan teduh itu.
"Mmm?" Tanya Fauzan lagi.
"Iya." Jawab Diva.
Fauzan menyeringai bangga.
"Itu pasti calon suami dambaan semua perempuan, kan, Diva?" Tanya Fauzan memastikan.
"Pasti." Jawab Diva.
"Kalau gitu..." Fauzan merogoh isi kantung celananya.
"Kamu suka gak?" Sebuah kotak kecil berwarna merah menganga menawarkan cincin indah yang berkilau di dalamnya.
"Ini cantik banget, Fauzan!" Seru Diva.
"Kamu suka?" Tanya Fauzan.
"Suka suka!" Seru Diva.
"Syukurlah." Ujar Fauzan.
Diva tetap mematung. Hatinya menunggu cincin itu berhasil disematkan dijari manisnya.
"Kalau tolong kamu simpen busana pengantin ini ya? Jangan dikasih kesiapapun. Aku suka ini." Ujar Fauzan sembari menunjuk busana pengantin tadi.
Diva semakin heran.
"Secepat itukah?" Bisik Diva dalam hati.
"Dia pasti suka!" Bisik Fauzan penuh semangat.
"Dia? Siapa?" Diva penasaran. Mungkinkah yang dimaksud dia adalah dirinya?
"Ah iya, Div. Aku ada sesuatu buat kamu." Ujar Fauzan merogoh isi tasnya.
"Ada lagi? Cincinya aja belum disematkan dijari aku." Bisik Diva dalam hatinya.
"Ini." Fauzan menyerahkan selembar kertas undangan.
"Apa ini?" Tanya Diva.
Tertulis: Save The Date September, 25th 2016. Nadia & Fauzan wedding.
Pecah sudah rasanya hati Diva.
"Makanya aku tanya suami idaman kamu, itu psti calon suami idaman Nadia. Cincin ini juga buat mas kawinnya, udah lengkap sih, tapi tinggal cincinnya, dan kamu suka. Pasti Nadia juga suka." Ujar Fauzan begitu bersemangat. Namun kedua telinga Diva tertutup rapat begitu sepi terdengar, hanya suara kekecewaan yang mengitarinya.
"Oh iya. Aku juga suka riasan kamu. Aku mau kamu rias pengantin aku nanti ya? Bikin pengantin sahabat kamu ini secantik mungkin. Oke?" Ujar Fauzan menyayat hati Diva yang malang.
Pria itu pergi meninggalkan Diva yang merasakan langit runtuh menimpa tubuhnya yang menyedihkan.
Ternyata inilah jawaban dari sepucuk surat undangan.
Diva. Dia adalah mahasiswa berdarah Tionghoa dengan wajah khas orientalnya yang baru saja menyentuh langit kelulusan. Deangan modal ijazah sarjana manajemen, hendak kemana kaki melangkah meraup rezeki dibawah atap pekerjaan?
Sejak SMA, Diva bosan ada di bawah diperintah tugas para guru ditambah lagi di bawah telunjuk dosen dan mengingat telunjuk skripsi... Ah! Andai Diva yang bisa menyuruh orang. Cukup masa sekolah dan kuliah saja aku diatur-atur. Tapi, nampaknya ijazah ini tak kan berguna baginya. Karena ia memutuskan untuk berbisnis! Dimana ia bisa terbebas dari aturan seorang atasan.
Hanya dua hari pasca kelulusan, Diva memutuskan untuk mengikuti kursus merias.
Apa aku disini sedang bercerita tentang kisah inspiratif tentang kesuksesan? Haha. Tidak. Sebenarnya aku sedang bercerita tentang Diva yang tengah lelah menantikan pasangan.
"Kapan kamu menikah?"
Agaknya kalimat godaan itu yang amat menyayat hatinya. Candaan teman-teman yang selalu membuatku tertawa mengikuti candaan mereka, walau susah payah matanya menahan genangan air agar tak terjatuh.
Usianya tak terlalu tua memang. Diva masih 23 tahun. Namun memang sudah saatnya baginya untuk menikah.
Singkat cerita, diusianya yang ke 23 ini, wedding organizing miliknya sendiri telah resmi dibuka dan mulai beroperasi.
"Kamu udah enak ya? Kalau mau nikah kamu bisa dandan aja sendiri. Pake WO sendiri. Pasti gratis segala-galanya." Ujar sahabat baik Diva, Lala.
"Bertahun-tahun ngejomblo lu. Kapan mau nikahnya kalau kamu terlalu selektif gitu?" Ejek sahabat baik Diva yang lain, Vania. Yang kini tengah menikmati masa indah pengantin barunya.
"Berisik! Biar surat undangan yang menjawab." Sahut Diva.
"Gak gitu, Va. Kamu mau nyari yang gimana lagi coba? Banyak yang mau macarin kamu, kamu tolakin mentah-mentah. Bahkan cowok seromantis Tommy pun nembaknya kamu tolak, Va. Kurang apa coba dia? Ganteng iya, mapan juga." Ujar Vania.
"Aku carinya calon suami, Van." Elak Diva.
"Lagian, segimana baiknya laki-laki mana pun, hati Diva udah terlanjur nyantol sama si fotografer itu, kan? Haha." Canda Lala.
"Ah kamu mah nunggu yang gak pasti." Sahut Vania.
"Gak pasti apanya sih, Van? Aku yakin dia juga punya perasaan yang sama. Mungkin dia gak nembak aku jadi pacarnya, mungkin dia lagi siapin yang lebih dari itu, mungkin dia lagi siapin acara lamaran dan pernikahan kita. Aaahh!" Pikiran wanita itu melayang terbuai harapan semu yang diada-adakan oleh hatinya sendiri.
"Ngimpi jangan terlalu tinggi, jatuh baru sakit loh!" Sahut Vania.
"Ahh... kamu gimana sih? Sahabat lagi jatuh cinta kamu bukan ngedukung malah kayak gini!" Protes Diva.
Panjang umur nampaknya sang fotografer pujaan hati Diva, Fauzan. Pria berparas tampan dengan bentuk tubuh yang proporsional dilengkapi dengan aksi multitalent dan ramah serta santun sikapnya. Gadis mana yang tak terpaut hatinya pada lelaki itu? Saat itu hanya beberapa meter saja jaraknya dari Diva, Fauzan nampak sedang mengecek memory card pada alat pengambil gambarnya.
"Liat ya? Kalau dia emang suka sama aku, dia pasti nengok terus senyum sama aku." Bisik Diva.
Dan ternyata benar saja. Pria itu tersenyum ramah pada Diva. Lalu berjalan pergi. Dan sukses memabukan Diva dengan senyuman itu.
"Tuh kan!" Sorak Diva pelan. Ujung kedua matanya meruncing begitu sipit seperti bulan sabit.
"Itu karena setiap manusia punya naluri, Diva. Siapapun kalau diliatin pasti ngeh dan nengok sama orang yang ngeliatinnya, kalau ketauan ada yang ngeliatin pasti disenyumin." Jelas Vania. Tapi agaknya Diva masih terhipnotis dengan senyuman itu. Namun, senyuman itu semakin dekat dan mendekat.
"Diva, kamu gak lupa jadwal pemotretan prawedding Anton sama Livia sore ini, kan?" Tanya Fauzan kemudian.
"Ah.. ya! Tadi Livia udah nelpon, Jam dua kita ketemu mereka, biar aku rias dulu Livianya." Sahut Diva.
"Yaudah, siapin aja." Ujar Fauzan ditutup dengan garis manis di bibirnya lalu beranjak pergi dan menjauh.
"Persiapin buat jadi istri kamu? Kapan?" Diva meracau.
Kedua sahabat gadis berdarah Tionghoa itu agaknya merasa kasihan dan takut sahabatnya suatu saat akan kelelahan karena berlari. Ya, berlari dari kenyataan. Apa boleh buat. Diva telah menutup rapat kedua telinganya dan kedua matanya oleh cintanya pada Fauzan. Suasanapun menjadi hening.
"Nah, kira-kira berapa lama lagi Diva menjomblo ya?" Goda Lala memecah keheningan.
"Dia mah cowok yang ada aja ditolakin terus, Lala." Celetuk Vania. Lantas Diva menjawab dengan manis di wajah jatuh cintanya.
"Biar surat undangan yang menjawab."