Gadis kecil itu menangis, menjerit-jerit membelah langit. Meneriakkan ayahnya. Sesekali menarik dan menggigit lengan ibunya. Tak lelah ia merajuk untuk kembali ke rumah ayahnya. Tak sendiri. Tapi juga dengan ibunya dan adik kecilnya.
"Hasna, sayang... dengerin ibu, nak. Itu bukan rumah ibu lagi. Rumah ibu disini. Bapak udah nikah sama orang lain, ibu juga udah nikah sama orang lain." Jelas Jullaikha.
"Gak apa-apa atuh, Ibu. Balik lagi aja." Hasna tetap tak mau mengerti. Ia masih terlalu kecil untuk memahami perkara ini.
Hati Jullaikha semakin teriris oleh tangisan putrinya itu. Dalam hati ia mendesis
"Ah.. Hasna. Andai saja semudah itu untuk kembali."
Wanita itu turun menuntun gadisnya. Riak air sungai membelah desa. Gunung tinggi menjulang. Sawah dan ladang membentang. Kebun teh dan cengkeh luas terhampar. Jullaikha berjalan menyusuri setapak yang dahulu biasa dilaluinya jika hendak memanen teh atau cengkeh. Semua masih sama.
"Pak Amir, masih pagi udah kerja aja." Sapa Jullaikha pada salah satu petani yang dahulu bekerja di kebun tehnya. Yang hingga kini masih bekerja disana. Namun bekerja untuk nyonya lain yang berhasil menggantikannya.
"Eh, iya, bu. Ibu mau kemana sama Non Hasna?" Sahutnya masih sama juga seperti dulu.
"Hasna mau ke bapaknya katanya."
Pria itu hanya tersenyum lebar hingga Jullaikha berpamitan.
"Pak Amir, awasi terus kebunnya ya? Hati-hati sama hama."
Di balik punggung Jullaikha angin lembut merambatkan suara yang merdu dan indah walau hanya dalam sebaris kalimat. Jullaikha menghentikan langkahnya, akalnya berputar mencoba mencari sekeping memori. Suara itu, tak asing baginya. Lantas, Jullaikha menoleh pada sumber suara. Didapatinya wanita cantik sebaya dengannya sedang bercakap dengan Pak Amir. Wanita yang kini bertahta menjadi ratu di rumah dahulunya, bahkan di hati mantan suaminya. Melihat batang hidungnya atau bahkan hanya mendengar namanya itu cukup menyesakkan dadanya.
Jullaikha mulai menata hatinya lalu mengatur langkahnya menuju segudang kenangan, mengantarkan putrinya pada ayahnya. Lelaki itu datang dan membawa putrinya masuk. Hasna menoleh pada ibunya yang masih tersenyum padanya di balik pagar rumah. Jullaikha menatap punggung Arif yang semakin menjauh.
Aku mematung dalam harapan, sedangkan kamu tetap membeku dalam ketidakpedulian. Biarkan pelangi tak mampu menjaga indah goresan warnanya, tak sepertiku yang tak kan berhenti menjaga cintaku. Kamu telah berlayar jauh ke tengah samudera, tapi aku masih berharap kamu akan kembali ke dermaga yang sama.
"Hasna, sayang... dengerin ibu, nak. Itu bukan rumah ibu lagi. Rumah ibu disini. Bapak udah nikah sama orang lain, ibu juga udah nikah sama orang lain." Jelas Jullaikha.
"Gak apa-apa atuh, Ibu. Balik lagi aja." Hasna tetap tak mau mengerti. Ia masih terlalu kecil untuk memahami perkara ini.
Hati Jullaikha semakin teriris oleh tangisan putrinya itu. Dalam hati ia mendesis
"Ah.. Hasna. Andai saja semudah itu untuk kembali."
Wanita itu turun menuntun gadisnya. Riak air sungai membelah desa. Gunung tinggi menjulang. Sawah dan ladang membentang. Kebun teh dan cengkeh luas terhampar. Jullaikha berjalan menyusuri setapak yang dahulu biasa dilaluinya jika hendak memanen teh atau cengkeh. Semua masih sama.
"Pak Amir, masih pagi udah kerja aja." Sapa Jullaikha pada salah satu petani yang dahulu bekerja di kebun tehnya. Yang hingga kini masih bekerja disana. Namun bekerja untuk nyonya lain yang berhasil menggantikannya.
"Eh, iya, bu. Ibu mau kemana sama Non Hasna?" Sahutnya masih sama juga seperti dulu.
"Hasna mau ke bapaknya katanya."
Pria itu hanya tersenyum lebar hingga Jullaikha berpamitan.
"Pak Amir, awasi terus kebunnya ya? Hati-hati sama hama."
Di balik punggung Jullaikha angin lembut merambatkan suara yang merdu dan indah walau hanya dalam sebaris kalimat. Jullaikha menghentikan langkahnya, akalnya berputar mencoba mencari sekeping memori. Suara itu, tak asing baginya. Lantas, Jullaikha menoleh pada sumber suara. Didapatinya wanita cantik sebaya dengannya sedang bercakap dengan Pak Amir. Wanita yang kini bertahta menjadi ratu di rumah dahulunya, bahkan di hati mantan suaminya. Melihat batang hidungnya atau bahkan hanya mendengar namanya itu cukup menyesakkan dadanya.
Jullaikha mulai menata hatinya lalu mengatur langkahnya menuju segudang kenangan, mengantarkan putrinya pada ayahnya. Lelaki itu datang dan membawa putrinya masuk. Hasna menoleh pada ibunya yang masih tersenyum padanya di balik pagar rumah. Jullaikha menatap punggung Arif yang semakin menjauh.
Aku mematung dalam harapan, sedangkan kamu tetap membeku dalam ketidakpedulian. Biarkan pelangi tak mampu menjaga indah goresan warnanya, tak sepertiku yang tak kan berhenti menjaga cintaku. Kamu telah berlayar jauh ke tengah samudera, tapi aku masih berharap kamu akan kembali ke dermaga yang sama.
0 komentar