Kehadiranku dalam perjalanannya hanya akan mengganggu dan menambah beban baginya. Cukup sakit baginya di dalam sana. Lebih sakit melihat aku terluka bersamanya.
Sakit memang rasanya berada di lautan sana walau bersamanya. Perjalanan buah mutiaranya tak akan mudah. Tapi jujur lebih sakit lagi ketika dihempaskan ke tanah.
Kini aku kembali mematung di tepi pantai yang sepi. Dengan segala luka yang kini menjadi saksi. Keras kepalanya aku yang tak pernah mau berhenti. Mencintainya sepenuh hati.
Pohon kelapa melambai. Memberitahuku soal pelangi yang memudar. Meski pelangi itu telah kehilangan warna dan keindahannya, tak akan berpengaruh memudarkan perasaan yang telah lama tertanam.
Kini aku sendiri. Membuang waktuku dengan angin, dengan air, dengan pasir, dengan karang. Menunggu kerang yang telah menjanjikan mutiara untukku. Entah. Entah kerang yang mana yang terlebih dulu datang padaku. Entah dengan siapa aku akan berdansa di bawah purnama itu. Entah aku masih sendiri atau aku telah menjelma menjadi ratu dengan mutiaranya menyaksikan sinar jingga di ujung cakrawala.
Maafkanlah aku dan sifat keras kepalaku. Kau tahu tak mudah bagiku untuk bertahan. Sejauh ini aku telah bertahan, maka tak kan mudah bagiku untuk menyerah saat aku kau buang.
Kerang abu-abuku, aku akan selalu menunggumu.
Ini dia akhirnya. Kerang begitu keras menghantamku ke atas pasir. Begitulah dia menepikanku kembali di sini. Nampak kejam memang. Namun inilah pilihannya. Dia tak ingin aku ikut turun ke dalam air bersamanya. Ia tak ingin aku melihat perjuangannya. Biarkan ia berjuang untuk mutiaranya sendiri. Aku tau hatinya begitu besar, ia tak ingin aku ikut terluka dalam ganasnya samudera. Walau sebenarnya aku akan mampu menahan segala dera. Apalah daya. Kerang hanya tak ingin semuanya perih terbuang sia-sia.
1 komentar
Ya ampun -_-
BalasHapus