Aku
pernah mendengar sebaris sajak cinta. Dikatakan bahwa menunggu itu
seindah menyaksikan sunset di tepi hari. Menyaksikan sang mentari jingga
menggelayut manja di kaki langit. Sungguh indah memang. Masa singkat
yang sangat berharga. Karena sekali ia bergerak, tak ada lagi sunset,
yang tersisa hanya gelap dan debur ombak.
Itu yang kini tengah aku alami. Masih setia berdiri di tepi pantai ini.
Kerang pujaan entah sedang apa dengan mutiaranya di lautan sana. Ia
menjanjikan akan kembali setelah mentari benar-benar terbenam.
Duhai, mengapa lama sekali rasanya hari ini berlalu dan berubah malam? Walau memang hanya tersisa gelap dan debur ombak. Namun masih ada cahaya purnama yang akan menerangi kita saat berdansa. Sunset itu memang indah. Masa singkat yang sangat berharga. Namun, sang jingga rasanya tak henti menghujam hatiku.
Tak pernah aku berniat bercerita banyak kepada orang-orang. Namun dengan sendirinya orang bertanya kapan aku akan berhenti. Lantas aku menjawab, jika kerang itu kembali. Lalu mereka kembali bertanya kapan ia kembali. Maka aku menjawab, jika mentari itu telah lenyap di kaki langit. Hingga beberapa diantara mereka tercengang, atau bahkan menertawakan. Aku bodoh, pikir mereka.
Aku hanya diam. Mengigit bibir. Membenarkan apa kata mereka. Namun, tak banyak hal yang bisa kulakukan. Tak banyak jalan yang bisa kupilih. Mungkin, walaupun aku tidak bisa menikmati sunset di sore hari bersama kerang kesayanganku, paling tidak aku masih bisa berdansa bersamanya di bawah sinar purnama. Aku menghela napas panjang. Karena ku tahu selalu ada kata jatuh sebelum cinta, dan tak pernah ada jatuh yang rasanya tak menyakitkan.
Akankah aku setegar batu karang yang tak henti dihempas sang ombak? Akankah aku seganas ombak menerjang segala perih sendiri? Akankah aku sepasrah pasir yang tertiup angin kencang tak peduli kemana alur takdir kan membawaku? Hingga mungkin aku yang terbawa ke dasar laut lalu terkubur air di sana bersama semua luka. Ataukah aku selemah daun jatuh yang tertiup angin? Ataukah bersembunyi ketakutan melawan seperti sang tukik? Hingga aku tak kuasa lagi berteriak di pantai lalu berlari ke dalam hutan. Mencari kepingan kebahagiaan sendiri walau akupun tak tahu apa yang hendak aku cari.
Ingin ku buang segala ingatan ini. Ingin ku tepis segala rasa ini. Ingin ku lupakan sedang apa aku di sini. Aku mencobanya dengan beragam kesibukan. Mencoba berbicara dengan awan. Mencoba bernyanyi dengan angin. Mencoba membuat istana pasir. Atau lainnya. Percuma. Tak sedikitpun aku dapat lupa dan menepis segala rasa. Jika aku tinggal dan kerang itu kembali, aku akan sangat bahagia. Tapi jika ombak membelokannya, mungkin tak kan ada harapan bagiku untuk bersua dengan cinta.
Abu-abu. Warna kerang itu. Tak jelas hitam atau putihnya. Tapi aku percaya ia hanya putih yang terbalut hitamnya lumpur. Walau aku ragu dengan keyakinan itu. Sunset yang jingga. Akankah cocok dipadukan dengan abu-abu? Ataukah hitamnya malam yang akan melengkapi abu-abu? Sunset di tepi pantai. Masa berharga penuh sengsara menanti kembali putihnya si kerang abu-abu.
Duhai, mengapa lama sekali rasanya hari ini berlalu dan berubah malam? Walau memang hanya tersisa gelap dan debur ombak. Namun masih ada cahaya purnama yang akan menerangi kita saat berdansa. Sunset itu memang indah. Masa singkat yang sangat berharga. Namun, sang jingga rasanya tak henti menghujam hatiku.
Tak pernah aku berniat bercerita banyak kepada orang-orang. Namun dengan sendirinya orang bertanya kapan aku akan berhenti. Lantas aku menjawab, jika kerang itu kembali. Lalu mereka kembali bertanya kapan ia kembali. Maka aku menjawab, jika mentari itu telah lenyap di kaki langit. Hingga beberapa diantara mereka tercengang, atau bahkan menertawakan. Aku bodoh, pikir mereka.
"Jika selama itu. Kau yakin mampu menunggu? Banyak hal yang perlu kau pertimbangkan. Bukankah indah menatap sisa sunset bersama? Tidak bersama setelah sunset itu terlewatkan."
Aku hanya diam. Mengigit bibir. Membenarkan apa kata mereka. Namun, tak banyak hal yang bisa kulakukan. Tak banyak jalan yang bisa kupilih. Mungkin, walaupun aku tidak bisa menikmati sunset di sore hari bersama kerang kesayanganku, paling tidak aku masih bisa berdansa bersamanya di bawah sinar purnama. Aku menghela napas panjang. Karena ku tahu selalu ada kata jatuh sebelum cinta, dan tak pernah ada jatuh yang rasanya tak menyakitkan.
Akankah aku setegar batu karang yang tak henti dihempas sang ombak? Akankah aku seganas ombak menerjang segala perih sendiri? Akankah aku sepasrah pasir yang tertiup angin kencang tak peduli kemana alur takdir kan membawaku? Hingga mungkin aku yang terbawa ke dasar laut lalu terkubur air di sana bersama semua luka. Ataukah aku selemah daun jatuh yang tertiup angin? Ataukah bersembunyi ketakutan melawan seperti sang tukik? Hingga aku tak kuasa lagi berteriak di pantai lalu berlari ke dalam hutan. Mencari kepingan kebahagiaan sendiri walau akupun tak tahu apa yang hendak aku cari.
Ingin ku buang segala ingatan ini. Ingin ku tepis segala rasa ini. Ingin ku lupakan sedang apa aku di sini. Aku mencobanya dengan beragam kesibukan. Mencoba berbicara dengan awan. Mencoba bernyanyi dengan angin. Mencoba membuat istana pasir. Atau lainnya. Percuma. Tak sedikitpun aku dapat lupa dan menepis segala rasa. Jika aku tinggal dan kerang itu kembali, aku akan sangat bahagia. Tapi jika ombak membelokannya, mungkin tak kan ada harapan bagiku untuk bersua dengan cinta.
Abu-abu. Warna kerang itu. Tak jelas hitam atau putihnya. Tapi aku percaya ia hanya putih yang terbalut hitamnya lumpur. Walau aku ragu dengan keyakinan itu. Sunset yang jingga. Akankah cocok dipadukan dengan abu-abu? Ataukah hitamnya malam yang akan melengkapi abu-abu? Sunset di tepi pantai. Masa berharga penuh sengsara menanti kembali putihnya si kerang abu-abu.
5 komentar
Begitu puitis kak, saya suka karya kaka
BalasHapusTerima kasih banyak
Hapussungguh indah kata-katanya
BalasHapusijin share photonya
Izin share foto
BalasHapusIzin share foto ya
BalasHapus