Langit masih jingga warnanya. Fajar baru saja akan muncul. Embun pagi masih menggelayut manja pada daunnya. Sejuknya udara masih menusuk ke dalam tulang. Hasna masih terbang dalam mimpinya. Selembar selimut masih membalut tubuh kecilnya. Seseorang membuka jendela kamar Hasna membiarkan udara di pagi buta masuk dengan bebasnya lalu menyentuh kulit lembut Hasna. Tak kuasa dengan dinginnya, Hasna semakin menarik selimutnya. Namun,
"Hasna! Bangun!" Suara pelan namun bernada kasar mengejutkan Hasna. Suara itu menarik Hasna jatuh dari terbangnya tadi. Selimutnya pun telah terbebas dari tubuhnya.
"Anak perempuan gak boleh bangun siang. Ayo, bantu ibu di dapur." Katanya lagi.
Hasna hanya menggosok matanya lalu kembali tertidur.
"Hasna! Bangun! Jangan jadi anak pemalas!" Seru wanita itu.
Dengan mata yang masih berat, Hasna turun dari tempat tidurnya sembari memeluk tubuh mungilnya sendiri. Memaksakan diri untuk mengikuti ibu tirinya, Asri, ke dapur.
"Nih. Tumbuk padinya." Pinta Asri.
Dengan tenaga kecil yang tentu saja belum terkumpul, Hasna menumbuk padi. Juga tentunya dengan mata yang terkantuk-kantuk.
"Yang bener numbuknya, Hasna. Dasar pemalas." Cibir Asri mengusir kantuk Hasna karena takut. Namun tetap saja, Hasna tak memiliki kekuatan yang cukup untuk menumbuk padi.
"Pake tenaga dong, Hasna. Yang bener!" Protes Asri lagi.
Wanita ini memang gemar memasak. Memang masakannya tak pernah gagal, selalu enak. Ia juga pandai mengolah aneka camilan. Namun lucunya semua hasil jadinya diberikan beberapa keping saja untuk Hasna, selebihnya beberapa toples penuh ia simpan dalam kamarnya.
Masakan telah siap. Hasna masih membantu menata makanan di atas meja makan atas perintah ibunya. Setelah siap, Asri mengalaskan nasi untuk Hasna, Arif dan dirinya. Hasna teridam karena nasi yang ada dalam piringnya hanya sedikit saja.
"Hasna, setelah ini tolong kamu cari kayu bakar di hutan ya?" Ujar Asri.
Hasna hanya menunduk. Lalu siap mencari kayu bakar setelahnya dan tentunya dengan keadaan masih lapar sebenarnya.
Terik matahari menyengat Hasna. Ubun-ubunnya terasa terhujam oleh panasnya. Beberapa bilah kayu bakar berhasil dikumpulkannya.
"Ini masih kurang, Hasna. Gih cari lagi yang lebih banyak."
Hasna menghela napas panjang. Langkahnya gontai menuju hutan.
"Non Hasna?" Sapa seorang pria beberapa meter dari Hasna dengan membawa kayu bakar.
"Pak Amir?" Hasna tersenyum lebar dengan mata yang berbinar.
"Non Hasna mau kemana?" Tanyanya sangat ramah.
"Hasna mau cari kayu bakar di hutan, Pak."
"Kamu mau cari kayu bakar? Bapakmu dimana?"
"Ada di rumah."
"Non sendiri?"
"Iya."
"Loh? Kenapa sendiri? Bapak kira non temenin bapak non cari kayu bakarnya."
Hasna hanya diam.
"Non Hasna udah makan belum?" Tanya Pak Amir.
"Udah, Pak. Tapi Hasna masih lapar."
"Non Hasna ikut ke rumah bapak, yuk!"
"Tapi Hasna mau cari kayu bakar, pak. Disuruh ibu."
"Udah. Nih, kayu bakar bapak buat Non Hasna aja semuanya." Senyum tulus mengembang di bibir Pak Amir. Disambut dengan senyum riang Hasna juga matanya yang berbinar.
Setibanya di rumah Pak Amir, istrinya yang baik hati, Ibu Ningsih menyambut Hasna dengan sangat ramah. Keduanya begitu menyayangi Hasna, juga Farida. Bagaimana tidak? Orang tua mereka begitu berjasa bagi hidup Pak Amir dan istrinya.
Ibu Ningsih memberi makan kepada Hasna. Walau seadanya, Hasna tidak pilihan terhadap makanan. Nafsu makannya sangat baik. Ia melahap habis makanan yang diberikan Ibu Ningsih. Sebenarnya, Pak Amir dan istrinya merasa iba pada Hasna. Mereka tahu betul bagaimana manjanya Hasna dan Farida pada ibunya yang baik hati dan selalu berlemah lembut. Namun sekarang, Hasna bak upik abu di rumahnya sendiri.
"Pak Amir, Bu Ningsih, makasih ya?" Ujar Hasna.
Pak Amir dan istrinya mengangguk-angguk.
"Non Hasna boleh main kesini kapan aja kalau Non bosen di rumah. Ya?" Ujar Ibu Ningsih.
Kayu bakar dari Pak Amir agaknya memuaskan hati Asri. Beberapa anak yang tak lain adalah teman-teman Hasna memanggil-manggil namanya dan mengajaknya bermain.
"Hasna gak akan main! Hasna mau bantu-bantu ibunya! Kalian main aja sendiri!" Seru Asri dari dalam rumah. Terang saja membubarkan anak-anak itu dari rumahnya.
Asri berprinsip waktu adalah kerja. Bagaimanapun prinsip pekerja keras wanita ini cukup bagus. Hanya saja anak kecil seusia Hasna berada dalam masanya bermain, bukan bekerja.
"Hasna, sekarang kamu cari rumput yang segar ya? Buat makanan sapi di belakang udah habis tuh." Ujar Asri.
Walau lelah, Hasna akan memenuhi perintah ibunya karena takut dimarahi.
Sekembalinya Hasna ke rumah dengan sekarung rumput segar. Ibunya tak puas juga.
"Apa ini? Sedikit ini. Harus padat terus penuh, Hasna! Ini gak padat. Jangan malas!" Seru ibunya sembari menumpahkan sekarung rumput itu.
"Sana. Cari lagi lebih banyak. Inget! Harus padat." Katanya lagi sembari menyerahkan karung itu.
Gadis kecil yang malang. Kini catatanku tetang hidupnya akan mulai berwarna-warni. Kita lihat kisah apa lagi yang akan menghiasi buku catatanku.
"Hasna! Bangun!" Suara pelan namun bernada kasar mengejutkan Hasna. Suara itu menarik Hasna jatuh dari terbangnya tadi. Selimutnya pun telah terbebas dari tubuhnya.
"Anak perempuan gak boleh bangun siang. Ayo, bantu ibu di dapur." Katanya lagi.
Hasna hanya menggosok matanya lalu kembali tertidur.
"Hasna! Bangun! Jangan jadi anak pemalas!" Seru wanita itu.
Dengan mata yang masih berat, Hasna turun dari tempat tidurnya sembari memeluk tubuh mungilnya sendiri. Memaksakan diri untuk mengikuti ibu tirinya, Asri, ke dapur.
"Nih. Tumbuk padinya." Pinta Asri.
Dengan tenaga kecil yang tentu saja belum terkumpul, Hasna menumbuk padi. Juga tentunya dengan mata yang terkantuk-kantuk.
"Yang bener numbuknya, Hasna. Dasar pemalas." Cibir Asri mengusir kantuk Hasna karena takut. Namun tetap saja, Hasna tak memiliki kekuatan yang cukup untuk menumbuk padi.
"Pake tenaga dong, Hasna. Yang bener!" Protes Asri lagi.
Wanita ini memang gemar memasak. Memang masakannya tak pernah gagal, selalu enak. Ia juga pandai mengolah aneka camilan. Namun lucunya semua hasil jadinya diberikan beberapa keping saja untuk Hasna, selebihnya beberapa toples penuh ia simpan dalam kamarnya.
Masakan telah siap. Hasna masih membantu menata makanan di atas meja makan atas perintah ibunya. Setelah siap, Asri mengalaskan nasi untuk Hasna, Arif dan dirinya. Hasna teridam karena nasi yang ada dalam piringnya hanya sedikit saja.
"Hasna, setelah ini tolong kamu cari kayu bakar di hutan ya?" Ujar Asri.
Hasna hanya menunduk. Lalu siap mencari kayu bakar setelahnya dan tentunya dengan keadaan masih lapar sebenarnya.
Terik matahari menyengat Hasna. Ubun-ubunnya terasa terhujam oleh panasnya. Beberapa bilah kayu bakar berhasil dikumpulkannya.
"Ini masih kurang, Hasna. Gih cari lagi yang lebih banyak."
Hasna menghela napas panjang. Langkahnya gontai menuju hutan.
"Non Hasna?" Sapa seorang pria beberapa meter dari Hasna dengan membawa kayu bakar.
"Pak Amir?" Hasna tersenyum lebar dengan mata yang berbinar.
"Non Hasna mau kemana?" Tanyanya sangat ramah.
"Hasna mau cari kayu bakar di hutan, Pak."
"Kamu mau cari kayu bakar? Bapakmu dimana?"
"Ada di rumah."
"Non sendiri?"
"Iya."
"Loh? Kenapa sendiri? Bapak kira non temenin bapak non cari kayu bakarnya."
Hasna hanya diam.
"Non Hasna udah makan belum?" Tanya Pak Amir.
"Udah, Pak. Tapi Hasna masih lapar."
"Non Hasna ikut ke rumah bapak, yuk!"
"Tapi Hasna mau cari kayu bakar, pak. Disuruh ibu."
"Udah. Nih, kayu bakar bapak buat Non Hasna aja semuanya." Senyum tulus mengembang di bibir Pak Amir. Disambut dengan senyum riang Hasna juga matanya yang berbinar.
Setibanya di rumah Pak Amir, istrinya yang baik hati, Ibu Ningsih menyambut Hasna dengan sangat ramah. Keduanya begitu menyayangi Hasna, juga Farida. Bagaimana tidak? Orang tua mereka begitu berjasa bagi hidup Pak Amir dan istrinya.
Ibu Ningsih memberi makan kepada Hasna. Walau seadanya, Hasna tidak pilihan terhadap makanan. Nafsu makannya sangat baik. Ia melahap habis makanan yang diberikan Ibu Ningsih. Sebenarnya, Pak Amir dan istrinya merasa iba pada Hasna. Mereka tahu betul bagaimana manjanya Hasna dan Farida pada ibunya yang baik hati dan selalu berlemah lembut. Namun sekarang, Hasna bak upik abu di rumahnya sendiri.
"Pak Amir, Bu Ningsih, makasih ya?" Ujar Hasna.
Pak Amir dan istrinya mengangguk-angguk.
"Non Hasna boleh main kesini kapan aja kalau Non bosen di rumah. Ya?" Ujar Ibu Ningsih.
Kayu bakar dari Pak Amir agaknya memuaskan hati Asri. Beberapa anak yang tak lain adalah teman-teman Hasna memanggil-manggil namanya dan mengajaknya bermain.
"Hasna gak akan main! Hasna mau bantu-bantu ibunya! Kalian main aja sendiri!" Seru Asri dari dalam rumah. Terang saja membubarkan anak-anak itu dari rumahnya.
Asri berprinsip waktu adalah kerja. Bagaimanapun prinsip pekerja keras wanita ini cukup bagus. Hanya saja anak kecil seusia Hasna berada dalam masanya bermain, bukan bekerja.
"Hasna, sekarang kamu cari rumput yang segar ya? Buat makanan sapi di belakang udah habis tuh." Ujar Asri.
Walau lelah, Hasna akan memenuhi perintah ibunya karena takut dimarahi.
Sekembalinya Hasna ke rumah dengan sekarung rumput segar. Ibunya tak puas juga.
"Apa ini? Sedikit ini. Harus padat terus penuh, Hasna! Ini gak padat. Jangan malas!" Seru ibunya sembari menumpahkan sekarung rumput itu.
"Sana. Cari lagi lebih banyak. Inget! Harus padat." Katanya lagi sembari menyerahkan karung itu.
Gadis kecil yang malang. Kini catatanku tetang hidupnya akan mulai berwarna-warni. Kita lihat kisah apa lagi yang akan menghiasi buku catatanku.