London, kota klasik yang begitu indah. Membekas selalu setiap kenangan manusia yang pernah menumpahkan kesibukannya di ibu kota negeri sepak bola ini.
Kali ini penulis ingin berbagi kisah inapiratif dari seorang syekh Arab yang tinggal di London.
Kali ini penulis ingin berbagi kisah inapiratif dari seorang syekh Arab yang tinggal di London.
Dengan pakaian longgar dan janggut tebalnya, pria itu menghamburkan langkahnya mendekat pada bis merah khas Inggris. Beliau ada seorang imam pada salah satu masjid besar yang ada di sana, beliau adalah seorang yang berasal dari tanah Arab.
Masuklah pria itu ke dalam bis lalu menyerahkan uangnya untuk membayar tiket pada sopir. Lalu ia berjalan ke belakang, mencari tempat duduk kosong yang dapat ditempatinya.
Pria itu menghitung kembalian yang diberikan sopir tadi saat membeli tiket.
"Ada 20 sen lebih dari kembalianku." Ujarnya dalam hati sembari membolak-balikan uang koin itu dengan jarinya.
Batinnya berperang hebat.
"Kembalikanlah kepada sopir itu. 20 sen itu bukan hakmu. Haram untukmu membawanya."
"Sudahlah kau simpan saja uang itu. Hanya 20 sen. Tak ada artinya bagi perusahaan bis sebesar ini. Tak akan kehilangan dan kerugian jika mereka kehilangan 20 sen saja."
"Tidak. Itu bukan hakmu. Seberapa sedikitnyapun uang itu, itu tetap milik orang lain."
"Sudah simpan saja uang itu. Hanya 20 sen saja. Tidak banyak."
Pria itu terus saja bimbang. Akankah ia menyerahkan kembali uang itu? Atau menyimpannya? Hingga tibalah ia pada halte yang telah ditujunya dan memaksanya untuk turun. Tapi semenjak berdiri lalu berjalan mendekat ke arah pintu dan tentunya sopir itu, pria itu masih saja bimbang. Hingga ia tiba, berdiri tepat di samping sang sopir.
"Maaf, pak. Uang kembalian saya lebih 20 sen. Ini saya kembalikan." Ujar Syekh itu.
Lalu apa jawaban dari sopir itu?
"Tahukah Anda? Sebenarnya saya hanya menguji kejujuran Anda dengan 20 sen itu. Saya sengaja menaruhnya lebih pada kembalian Anda."
Syekh itu mematung terkejut dan heran. Air mukanya dapat dibaca oleh sang sopir bahwa pria di depannya tengah bertanya-tanya mengapa. Maka sopir itu langsung menjawabnya kembali.
"Sebenarnya, saya begitu tertarik dengan agama Islam. Karena itu saya menguji Anda. Dan saya telah berjanji, jika saya bertemu dengan seorang muslim yang jujur, maka.... Asyhadu allaa ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadurrasulallah."
Dengan mantap sopir itu menyatakan keislamannya. Menggetarkan relung hati syekh itu. Perlahan butiran kristal pada pelupuk matanya meleleh, meluncur di pipinya, bulir bening itu tak terbendung lagi. Ia begitu terisak. Bukan. Bukan karena kebahagiaannya atas mualafnya sopir itu, melainkan karena sesalnya yang hampir saja menjual aqidahnya dengan uang 20 sen saja. Menjual agamanya dengan 20 sen saja. Begitu murah harga kejujurannya.
Masuklah pria itu ke dalam bis lalu menyerahkan uangnya untuk membayar tiket pada sopir. Lalu ia berjalan ke belakang, mencari tempat duduk kosong yang dapat ditempatinya.
Pria itu menghitung kembalian yang diberikan sopir tadi saat membeli tiket.
"Ada 20 sen lebih dari kembalianku." Ujarnya dalam hati sembari membolak-balikan uang koin itu dengan jarinya.
Batinnya berperang hebat.
"Kembalikanlah kepada sopir itu. 20 sen itu bukan hakmu. Haram untukmu membawanya."
"Sudahlah kau simpan saja uang itu. Hanya 20 sen. Tak ada artinya bagi perusahaan bis sebesar ini. Tak akan kehilangan dan kerugian jika mereka kehilangan 20 sen saja."
"Tidak. Itu bukan hakmu. Seberapa sedikitnyapun uang itu, itu tetap milik orang lain."
"Sudah simpan saja uang itu. Hanya 20 sen saja. Tidak banyak."
Pria itu terus saja bimbang. Akankah ia menyerahkan kembali uang itu? Atau menyimpannya? Hingga tibalah ia pada halte yang telah ditujunya dan memaksanya untuk turun. Tapi semenjak berdiri lalu berjalan mendekat ke arah pintu dan tentunya sopir itu, pria itu masih saja bimbang. Hingga ia tiba, berdiri tepat di samping sang sopir.
"Maaf, pak. Uang kembalian saya lebih 20 sen. Ini saya kembalikan." Ujar Syekh itu.
Lalu apa jawaban dari sopir itu?
"Tahukah Anda? Sebenarnya saya hanya menguji kejujuran Anda dengan 20 sen itu. Saya sengaja menaruhnya lebih pada kembalian Anda."
Syekh itu mematung terkejut dan heran. Air mukanya dapat dibaca oleh sang sopir bahwa pria di depannya tengah bertanya-tanya mengapa. Maka sopir itu langsung menjawabnya kembali.
"Sebenarnya, saya begitu tertarik dengan agama Islam. Karena itu saya menguji Anda. Dan saya telah berjanji, jika saya bertemu dengan seorang muslim yang jujur, maka.... Asyhadu allaa ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadurrasulallah."
Dengan mantap sopir itu menyatakan keislamannya. Menggetarkan relung hati syekh itu. Perlahan butiran kristal pada pelupuk matanya meleleh, meluncur di pipinya, bulir bening itu tak terbendung lagi. Ia begitu terisak. Bukan. Bukan karena kebahagiaannya atas mualafnya sopir itu, melainkan karena sesalnya yang hampir saja menjual aqidahnya dengan uang 20 sen saja. Menjual agamanya dengan 20 sen saja. Begitu murah harga kejujurannya.
*****
Rasanya begitu sepele uang 20 sen itu. Andai hal itu terjadi dengan kita, dimana uang 500 rupiah orang lain ada pada tangan kita. Apa yang akan kita lakukan? Mengembalikannya? Atau menjual kejujuran kita dengan menyimpannya?
1 komentar
karena kadang, orang awam melihat agama dari perilaku manusianya. jadi kita harus bisa jaga sikap sebagai seorang muslim. salam kenal.. lagi blogwalking sampai tersentuh nih..
BalasHapus