Diva. Dia adalah mahasiswa berdarah Tionghoa dengan wajah khas orientalnya yang baru saja menyentuh langit kelulusan. Deangan modal ijazah sarjana manajemen, hendak kemana kaki melangkah meraup rezeki dibawah atap pekerjaan?
Sejak SMA, Diva bosan ada di bawah diperintah tugas para guru ditambah lagi di bawah telunjuk dosen dan mengingat telunjuk skripsi... Ah! Andai Diva yang bisa menyuruh orang. Cukup masa sekolah dan kuliah saja aku diatur-atur. Tapi, nampaknya ijazah ini tak kan berguna baginya. Karena ia memutuskan untuk berbisnis! Dimana ia bisa terbebas dari aturan seorang atasan.
Hanya dua hari pasca kelulusan, Diva memutuskan untuk mengikuti kursus merias.
Apa aku disini sedang bercerita tentang kisah inspiratif tentang kesuksesan? Haha. Tidak. Sebenarnya aku sedang bercerita tentang Diva yang tengah lelah menantikan pasangan.
"Kapan kamu menikah?"
Agaknya kalimat godaan itu yang amat menyayat hatinya. Candaan teman-teman yang selalu membuatku tertawa mengikuti candaan mereka, walau susah payah matanya menahan genangan air agar tak terjatuh.
Usianya tak terlalu tua memang. Diva masih 23 tahun. Namun memang sudah saatnya baginya untuk menikah.
Singkat cerita, diusianya yang ke 23 ini, wedding organizing miliknya sendiri telah resmi dibuka dan mulai beroperasi.
"Kamu udah enak ya? Kalau mau nikah kamu bisa dandan aja sendiri. Pake WO sendiri. Pasti gratis segala-galanya." Ujar sahabat baik Diva, Lala.
"Bertahun-tahun ngejomblo lu. Kapan mau nikahnya kalau kamu terlalu selektif gitu?" Ejek sahabat baik Diva yang lain, Vania. Yang kini tengah menikmati masa indah pengantin barunya.
"Berisik! Biar surat undangan yang menjawab." Sahut Diva.
"Gak gitu, Va. Kamu mau nyari yang gimana lagi coba? Banyak yang mau macarin kamu, kamu tolakin mentah-mentah. Bahkan cowok seromantis Tommy pun nembaknya kamu tolak, Va. Kurang apa coba dia? Ganteng iya, mapan juga." Ujar Vania.
"Aku carinya calon suami, Van." Elak Diva.
"Lagian, segimana baiknya laki-laki mana pun, hati Diva udah terlanjur nyantol sama si fotografer itu, kan? Haha." Canda Lala.
"Ah kamu mah nunggu yang gak pasti." Sahut Vania.
"Gak pasti apanya sih, Van? Aku yakin dia juga punya perasaan yang sama. Mungkin dia gak nembak aku jadi pacarnya, mungkin dia lagi siapin yang lebih dari itu, mungkin dia lagi siapin acara lamaran dan pernikahan kita. Aaahh!" Pikiran wanita itu melayang terbuai harapan semu yang diada-adakan oleh hatinya sendiri.
"Ngimpi jangan terlalu tinggi, jatuh baru sakit loh!" Sahut Vania.
"Ahh... kamu gimana sih? Sahabat lagi jatuh cinta kamu bukan ngedukung malah kayak gini!" Protes Diva.
Panjang umur nampaknya sang fotografer pujaan hati Diva, Fauzan. Pria berparas tampan dengan bentuk tubuh yang proporsional dilengkapi dengan aksi multitalent dan ramah serta santun sikapnya. Gadis mana yang tak terpaut hatinya pada lelaki itu? Saat itu hanya beberapa meter saja jaraknya dari Diva, Fauzan nampak sedang mengecek memory card pada alat pengambil gambarnya.
"Liat ya? Kalau dia emang suka sama aku, dia pasti nengok terus senyum sama aku." Bisik Diva.
Dan ternyata benar saja. Pria itu tersenyum ramah pada Diva. Lalu berjalan pergi. Dan sukses memabukan Diva dengan senyuman itu.
"Tuh kan!" Sorak Diva pelan. Ujung kedua matanya meruncing begitu sipit seperti bulan sabit.
"Itu karena setiap manusia punya naluri, Diva. Siapapun kalau diliatin pasti ngeh dan nengok sama orang yang ngeliatinnya, kalau ketauan ada yang ngeliatin pasti disenyumin." Jelas Vania. Tapi agaknya Diva masih terhipnotis dengan senyuman itu. Namun, senyuman itu semakin dekat dan mendekat.
"Diva, kamu gak lupa jadwal pemotretan prawedding Anton sama Livia sore ini, kan?" Tanya Fauzan kemudian.
"Ah.. ya! Tadi Livia udah nelpon, Jam dua kita ketemu mereka, biar aku rias dulu Livianya." Sahut Diva.
"Yaudah, siapin aja." Ujar Fauzan ditutup dengan garis manis di bibirnya lalu beranjak pergi dan menjauh.
"Persiapin buat jadi istri kamu? Kapan?" Diva meracau.
Kedua sahabat gadis berdarah Tionghoa itu agaknya merasa kasihan dan takut sahabatnya suatu saat akan kelelahan karena berlari. Ya, berlari dari kenyataan. Apa boleh buat. Diva telah menutup rapat kedua telinganya dan kedua matanya oleh cintanya pada Fauzan. Suasanapun menjadi hening.
"Nah, kira-kira berapa lama lagi Diva menjomblo ya?" Goda Lala memecah keheningan.
"Dia mah cowok yang ada aja ditolakin terus, Lala." Celetuk Vania. Lantas Diva menjawab dengan manis di wajah jatuh cintanya.
"Biar surat undangan yang menjawab."
0 komentar