­
#kisah

Gadis kecil di shaff paling depan

Minggu, November 23, 2014

Late post sebenarnya.
Kali ini, aku ingin sedikit bercerita tentang kekagumanku tergadap seorang gadis cilik yang selalu shalat di shaff paling depan.
 Kau pasti tahu bagaimana sempitnya masjid di malam pertama terawih. Dan pasti juga kau tahu bagaimana kian hari madjid tempat kita melakdanakan ibadah terawih kian terasa luas. Minggu pertama lima sampai sepuluh orang jemaah mulai absen terawih. Minggu kedua, setengah ruangan mulai kosong. Minggu ketiga setengahnya lagi berguguran pergi hilir mudik. Satu pekan terakhi tersisa belasan jemaah, mungkin yang lain sudah mudik atau sibuk dengan adonan kue lebaran mereka atau sibuk mencari pakaian baru, dan lain-lain. Sudahlah, maksudku di sini bukan untuk membahas soal mereka, tapi tentang gadis manis yang membuatku kagum padanya.
 Malam pertama, seperti biasa, masjid sangat penuh saat itu, hingga aku dan ibuku yang datang agak terlambat terpaksa shalat di teras masjid. Anak-anak berlarian saat kita shalat, berteriak saling bersahutan, berisik. Satu dua orang ibu-ibu jamaah menegur mereka. Tapi, apa mau dikata? Namanya bocah, setelah ditegur tiga menit kemudian kembali berisik. Aku sedikit jengkel saat itu, tapi tak banyak juga yang bisa aku lakukan. Aku hanya mengkatupkan bibirku serapat mungkin kemudian kembali menghadap ke arah depan. Tapi dari balik kaca masjid aku lihat seorang anak perempuan dengan mukenahnya sedang berdiri di shaff paling depan sedang merapikan mukena bawahannya. Ah, ini kan malam pertama, sangat biasa dia masih bersemangat terawih.
 Satu, dua, tiga hari terlewatkan sampai seminggu. Masjid terasa semakin luas. Tentu, perlahan jemaahnya berkurang setiap malamnya. Akhirnya, aku dapat tempat di shaff kedua. Tepat di belakang gadis cantik itu. Ternyata setiap malam dia tidak pernah absen terawihnya. Shalatnyapun  tenang. Tak ada rakaat yang terlewat. Di sini memang shalat terawih sebanyak 23 rakaat, mungkin untuk anak seusia dia bisa membuat kakinya lelah shalat sebanyak itu. Tapi dia tidak. Saat anak-anak lain seusianya bermain-main dan habis dimarahi para jemaah, justru dia asyik dengan ibadahnya. Setiap pulang dari madjidpun ku lihat anak itu pulang sendiri.
Satu, dua minggu juga tetap sama. Anak itu ada di tempat yang sama. Hatiku berdecak kagum padanya. Karena aku pun ingat. Dulu saat aku seusia dia, aku tidak begitu serius dalam terawihku. Aku hanya shalat di rakaat awal, lalu duduk di pertengahan dan kembali shalat di tiga rakaat terakhir.
Minggu ketiga. Kali ini sesuatu menghalangiku beribadah selama seminggu. Aku diam di rumah saat yang lain terawih. Aku hanya menerka-nerka apa anak itu masih rajin dengan terawihnya?
Minggu keempat, aku kembali ke mesjid dan.... Subhanallah, anak itu masih ada di tempat biasa! Mengikuti terawih sebagaimana mestinya. Selalu datang lebih awal dariku. Menempati bagian paling kanan di shaff terdepan.
Hingga hari terakhir pun terawih, anak itu tetap ada di sana.




You Might Also Like

0 komentar

Berlangganan


Kicauan @TashaDiana2