Suatu hari Minggu sekitar empat tahun yang lalu, saat itu aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Jernih sungai membelah desa. Daun dan rerumputan menari bersama angin. Kicauan burung nyaring bersahutan. Tak tertinggal pula sejuknya udara pagi menggigit manja sekujur tubuhku. Minggu pembina eskul yang aku ikuti mengadakan kegiatan yang cukup menantang. Mendaki sebuah gunung.
Singkat cerita, saat itu kami telah tiba di tengah hutan. Sekelompok pendaki ini telah berbaris satu banjar, karena hanya ada satu jalan setapak yang sangat sempit terhimpit rerumputan yang tidak begitu tinggi. Jalan setapak itu pun cukup terjal dan licin, tentu sangat menantang bagi kami untuk melewatinya.
"Kamu tau? Satu orang di atas aja kepeleset, pasti jatuh semua." Ujar seseorang di belakangku, entah siapa, mungkin adik kelasku.
Sekitar setengah perjalanan hutan untuk sampai ke puncaknya, sahabat baikku berkata ia ingin buang air kecil. Sekalian saja untuk jeda istirahat paling tidak untuk minum. Aku duduk di atas sebongkah batu besar. Mengamati sekitar. Hutan. Aku juga menoleh ke belakang. Ada sebuah jalan setapak juga disana.
"Oh, ada jalan ke sana juga? Itu kemana ya?" Batinku berkata sendiri.
"Teh, ayo." Ajak adik kelasku mengingatkan rombongan pendaki hari itu telah memulai kembali perjalannya.
Tibalah kami di puncak gunung. Pemandangannya sangat indah memanjakan mata kami. Hutan yang telah kami lalui pun terlihat indah dari atas sini. Tapi aku terkejut melihat ada warung sederhana di puncak ini.
"Apa mungkin dia kesini setiap hari? Atau dia tinggal disini? Gimana sama belanjaan warungnya? Beli di pasar? Gimana caranya?" Pikirku saat itu.
Ibu pemilik warung yang sadar akan perhatian yang ku taruh pada warungnya menyapa lalu berkata.
"Neng, hati-hati ya? Jangan sampai jalan sendirian kepisah sama rombongannya sedetikpun."
Aku hanya mengiyakan. Tentu. Mana mungkin aku mau terpisah dari yang lain?
Asyik menikmati pemandangan indah ini. Tak terasa hari menjelang sore. Saatnya kami pulang.
Di perjalanan menuruni gunung dan kembali memasuki hutan, adik kelasku ada yang menangis ketakutan melihat jalan setapak yang curam. Ia terduduk sambil terus menangis. Tentu saja arus menuruni gunung menjadi macet. Aku sedikit mendengus kesal. Maka aku menyalip-nyalip sampai aku melewati rombonganku, aku menuruni gunung sendirian, meninggalkan rombonganku. Aku tidak mungkin tersesat, hanya ada satu jalan setapak yang akan mengantarku ke kaki gunung.
Ku dengar suara orang tertawa-tawa menggelikan di belakangku. Aku menghentikan langkahku di tengah hutan. Perlahan memberanikan diri menengok ke belakang. Dan...
BOO!
Aku terkejut karena tiba-tiba kedua adik kelasku, Mia dan Tia ada beberapa meter di belakangku.
"Loh? Teteh udah disini? Bukannya tadi masih di atas bareng yang lain?" Tanya Mia.
"Ternyata kalian. Iya, aku nyelip-nyelip. Habis di atas macet ah." Sahutku.
"AWAAASS!!! AWAAASSS!!! GAK ADA REMNYA! GAK ADA REMNYA!" Suara seseorang dari atas kami.
WUSH!
Ternyata itu Ridwan dan Listy yang berlari. Dibuntuti dua orang perempuan yang sekilas seperti Mia dan Tia yang juga ikut berlari. Aku terkejut lalu menoleh ke belakang. Mia dan Tia ada di belakangku. Lalu siapa dua orang yang berlari tadi? Lantas aku teringat perkataan ibu warung di puncak tadi.
"Ah! Ridwan sama Listy ninggalin rombongan! Tapi... seenggaknya mereka gak sendiri, mereka berdua. Ibu itu kan bilangna jangan sampe sendirian." Pikirku dalam hati.
"Ih itu ngapain Nisa sama Anggi lari-larian sama Teh Listy sama A Ridwan?" Tanya Mia.
"Kurang kerjaan kali. Haha." Sahut Tia.
"Oh, aku salah liat. Itu Nisa sama Anggi ya? Hhh... bikin kaget aja." Bisikku dalam hati.
Kedua orang itu memang tipikal manusia aktif yang tak suka diam, wajar mereka berlari menuruni gunung terjal ini untuk menantang adrenalin mereka. Mungkin.
"Iya tau! Si Galang mah emang gitu. Di kelas juga gak bisa diem."
"Tapi nakal juga dia tetep bagus sih ya sama pelajarannya."
Bla bla bla...
Terdengar Mia dan Tia sedang bergosip ria di belakangku. Daripada sepi dan bosan, aku ikut masuk saja dalam obrola mereka. Hasilnya, kami tertawa-tawa bertiga.
Tibalah kami pada titik dimana tadi kami beristirahat di tengah hutan itu. Aku kembali melewati persimpangan jalan tadi.
"Udah disini lagi ya? Turunya lebih cepet." Kataku.
"Iya atuh, teh. Kan turun." Sahut Mia.
Hening sejenak. Aku merasakan keganjilan di tempat ini. Entah apa.
"Mia! Lewat sini yuk! Ini Jalan pintas buat sampai ke desa." Ujar Tia sembari menunjuk pada jalan setapak yang tadi aku lihat.
"Oh iya! Yuk yuk!" Sahut Mia.
"Eh? Kalian mau kemana? Nanti nyasar! Ini jalannya! Lurus! Jangan belok ke kanan!" Seruku.
"Enggak, Teh! Aku udah sering kesini. Ini jalan pintasnya. Aku sering lewat sini. Teteh mau ikut?" Ujar Mia.
"Terserah! Pokoknya jangan ke sana! Ikutin jalan yang tadi! Jangan kesana! Takut nyasar!" Seruku.
"Yaudah gapapa teteh gak mau ikut mah. Kita sih mau lewat sini."
Mereka tak mau menurut. Aku juga tak mau sendiri dan tak mau mereka tersesat. Akhirnya aku ikuti mereka sambil terus membujuk untuk kembali. Anehnya aku tak dapat mengejar mereka padahal setengah berlari. Mereka berjalan begitu cepat. Sampai akhirnya aku kehilangan mereka.
Mumpung belum terlalu jauh, aku memutuskan kembali ke persimpangan tadi. Memutuskan untuk menunggu yang lain di sana. Daripada aku tersesat mengikuti dua adik kelas yang tak mau nurut itu.
Aku duduk diatas sebongkah batu yang tadi. Menunggu yang lain turun. Tak lama kemudian pembina eskulku tiba.
"Pak, Mia sama Tia masuk ke sana. Bilangnya mereka mau lewat jalan pintas. Aku takut mereka nyasar." Kataku.
"Yaudah kita cari." Katanya.
Kami berdua memasuki jalan itu. Tak ada Mia dan Tia disana.
"Yaudah, kita turun aja dulu. Siapa tau Mia sama Tia beneran motong jalan terus udah sampai di desa." Ujar Bapak Pembina aku hanya mengangguk setuju.
Tiba di kaki gunung, benar saja Mia dan Tia ada di sana bersama Ridwan dan Listy. Mereka benar-benar melewati jalan pintas itu.
"Mia, Tia. Kalian bener-bener ya? Kelewatan. Kenapa kalian ambil jalan pintas? Kalau kalian nyasar mau apa?" Dengusku kesal.
Keduanya tak bicara, hanya berkedip keheranan lalu menatap satu sama lain.
"Siapa yang ngambil jalan pintas, Teh?" Ujar Tia keheranan.
"Tadi itu! Kalian. Belok kanan, bukannya lurus. Kalau nyasar gimana?" Kataku lagi.
"Kita ga motong jalan, Teh." Ujar Mia.
"Iya, justru teteh yang lama. Kita udah nyampe disini sekitar 20 menit yang lalu." Ujar Mia.
"Iya, kita dari tadi lari-larian dari atas sama Teh Listy sama A Ridwan. Kita balapan, teh. Yang menang A Ridwan, Teh Listy kedua, aku ketiga, Mia keempat. Iya, kan?" Jelas Tia lalu menatap Listy.
"He eh." Sahut Listy sembari menganggukan kepalanya.
Aku terdiam. Mencoba menghitung orang yang hadir di acara ini. Semua lengkap. Tak ada yang hilang. Lantas aku berbisik.
"Terus. Siapa yang dari tadi bareng aku sepanjang jalan di hutan?"
0 komentar