Siang ini, tadinya aku hendak merapikan isi lemari. Untuk mengosongkan sebagian tempat yang akan ku isi dengan pakaian si kecil yang akan lahir sebentar lagi. Ku dapati sepucuk surat yang dilayangkan tujuh tahun silam, sepanjang dua lembar penuh, yang hingga saat ini masih ku simpan dengan rapi.
"Sha," tulis lelaki berbilang 15 tahun itu dalam suratnya, "yang aku mau sebenarnya pernikahan, bukan pacaran. Karena ia (pacaran) adalah hubungan yang miskin komitmen. Kebalikan dari pernikahan."
"Sekarang aku baru ngerti," tulisnya lagi pada paragraf selanjutnya, "apa maksud dari 'Mencintai karena Allah. Adalah bertemu dan berpisah karena-Nya. Adalah mencintai karena Allah mencintainya'. Hari ini kita berpisah sebagai bukti ketaatan pada-Nya. Suatu hari semoga kita bertemu dengan ridha-Nya. Lalu aku mencintai kamu karena Allah cinta juga sama kamu."
"Maka," ujarnya lagi pun pada paragraf selanjutnya, "ini keputusanku. Semoga dengan jarak ini bisa kita jadikan momen tepat untuk sama-sama memantaskan diri, berbenah diri, bersiap dengan persiapan terbaik untuk pertemuan istimewa kita di pelaminan. Karena semoga dengan ridha-Nya, Allah pertemukan kita lagi dengan cara yang baik-baik. Aamiin..."
Sesenyum mengembang, teringat segala yang telah terjadi. Apalagi, pada hari itu.
Setelah ia mengabari akan "silaturahim" ke rumah orangtuaku, esoknya ia mengabari lagi bahwa dia dan keluarganya menunda waktu itu. Katanya mereka ingin momen khitbah itu disaksikan juga oleh adik tertua Rofi - Purkish - yang kebetulan dia masih harus tinggal di asramanya karena belum masuk waktu liburan. Maka jadwal dimundurkan hingga tanggal 30 Maret 2020.
Malam itu, hari Senin, hujan rintik-rintik yang cukup deras menyelimuti langit Bandung cukup lama. Aroma masakan yang sudah disiapkan Mama dan Teteh sejak sore itu, untuk menjamu tamu, begitu memikat penghirupnya untuk segera menyantapnya. Selepas Isya, dengan mengenakan gamis Navy dan hijab Abu-Abu, dengan polesan make up sederhana: hanya bedak bayi dan lipstik pink orchid, aku masih duduk di atas sejadah di dalam kamarku. Wajahku tertunduk memikirkan apa yang akan terjadi setelah malam ini berlalu.
Dari dalam kamar, ku dengar dua keponakan laki-lakiku yang masih SD melompat-lompat begitu senang sembari berkali-kali berkata,
"Paman datang! Paman datang!"
Gelagat kedua bocah itu tentu mengundang tawa kedua orang tua juga kakek neneknya. Sedangkan aku semakin tak menentu.
Sekilas tentang dua bocah itu. Keduanya memang sangat dekat denganku. Sejak dalam kandungan ibunya, aku memang sudah dekat dengannya. Hingga, keduanya terasa lebih dari sekedar keponakan. Lebih. Dan mungkin keduanya juga merasa aku lebih dari sekedar tantenya.
Aku ingat saat yang kecil masih takut untuk disunat, tiap kali ku tanya kapan dia akan disunat, dia pasti enggan menjawab malah balik bertanya:
"Kalo Ate kapan nikah?"
Dan setelah dia disunat, lebih dulu dari pernikahanku, semakin senang dia menggodaku dengan pertanyaan kapan nikah. Gemes gemes ngeselin, untung aku sayang. (:
Dan malam itu keduanya nampak gembira sekali. Mereka belum mengerti malam ini selangkah lebih maju bagiku dan mungkin semua tak akan sama lagi.
Dari dalam kamar, ku dengar rombongan calon suami telah tiba. Keluargaku menyambut mereka begitu hangat. Aku tentunya semakin ingin bersembunyi saja di dalam kamar. Tapi mama menyusulku dan mengajakku keluar setelah para tamu duduk dan mengobrol sekitar 10 menit lamanya.
Begitu keluar dari kamar, ku dapati sesenyum kecil mencoba menutupi kegugupannya. Dengan mengenakan baju koko putih, begitu juga ayahnya adik-adiknya pun uwanya. Sedangkan tanpa ku sadari pula, semua keluargaku malah mengenakan pakaian serba hitam. Padahal tak ada rencana semacam menentukan dress code sebelumnya.
Satu masa pada pertemuan ini, setelah menikmati percakapan ringan, Papap langsung menembak para tamu dengan pertanyaan apa maksud kedatangan para tamu ke rumahnya.
Semua terdiam, ayahnya Rofi mulai membuka percakapan serius itu dengan mukadimahnya lalu menjawab inti dari niat kedatangannya.
"Jadi," tutur ayahnya Rofi, "maksud kedatangan kami kesini adalah kami hendak melamar putri bapak untuk anak kami, Rofi."
Pada saat itu, Papap tidak langsung menjawabnya, melainkan balik bertanya pada calon menantunya itu.
"Rofi yakin mau nikah sama Tasha?"
Lelaki itu mengangguk sembari menjawab mantap, "Iya."
"Kalian ini udah lama saling kenal juga kan sebelumnya. Rofi tau sendiri lah ya bagaimana anak bapak ini. Bener mau nikah sama Tasha?" Tanya Papap lagi.
Lelaki itu sekali lagi tersenyum sambil mengangguk dan menjawab, "Iya."
"Gimana kalo ternyata nanti Rofi nemu perempuan yang lebih baik dari Tasha?" Tanya Papap sekali lagi.
"Gak, Pak." Jawabnya, "Gak akan ada." Sembari tersenyum menggelengkan kepalanya.
Maka... Papap tersenyum lalu menjawab,
"Papap terima."
Aku merunduk sambil tersenyum. Walau dalam hati sedikit protes karena menurutku Papap terlalu cepat memberikan jawaban. Jika saja ada pertanyaan lain yang menantang sebuah jawaban sebagai tanda kesungguhan dia yang juga mungkin akan sedikit mengguncang mentalnya, aku pikir akan lebih seru. Hehe.
Setelah niatnya tersampaikan dan orang tuaku menerima niat baik itu, sebuah kotak berisikan cincin terulur dari Rofi. Papap menerimanya lalu memakaikannya pada jari manisku.
Seingatku, tak pernah aku mengenakan cincin sejak usiaku 4 tahun silam. Selain aku berkomitmen hanya bersedia mengenakan cincin sebagai tanda ikatan, Mama juga agaknya sepemikiran denganku, jadi Mama agak melarangku mengenakan cincin. Jadi, kali pertama aku mengenakan cincin dalam hidupku adalah dari Rofi. Bukan yang pertama, mungkin kedua, setelah orang tuaku saat usiaku 4 tahun itu.
"Jadi," ujar Mama "kapan kita selenggarakan acara pernikahannya?"
"Untuk itu nanti kita bicara lagi." Sahut ayahnya Rofi.
Seusai prosesi lamaran itu, kakak iparku mengajak kita semua untuk menikmati makan malam bersama. Hingga waktu tiba pada sekitar pukul 9 malam. Rombongan tamu berpamitan untuk pulang. Aku dan keluargaku mengantar tamu sampai teras. Dari balik pagar rumah yang masih terbuka, ku lihat satu per satu tamu masuk ke dalam mobilnya. Rofi yang terakhir masuk. Sebelum itu, ku dapati dia menoleh dan tersenyum padaku.
Bersambung...
Selanjutnya akan ku ceritakan perihal ujian pra-nikah kami. Insya Allah.
Ya... Kembali ke hari ini. Saatnya bagiku merapikan lemari lagi. ^_^
1 komentar
Kurang menantang pertanyaan Papap 😂
BalasHapus