"Pernikahan," kata Sayyid Quthb, "merupakan ikatan paling dalam, paling kuat, dan paling langgeng, yang memadukan antara dua anak manusia. Ia meliputi interaksi paling luas yang bisa dilakukan oleh dua orang. Ia adalah ikatan jiwa, keterpautan ruh, perpaduan akal, dan penyatuan jasad. Allah menyebutnya sebagai miitsaaqan ghaliizhaa. Ia diposisikan sebagai perjanjian agung yang setara dengan perjanjian-Nya dengan nabi-nabi pilihan-Nya, juga setara dengan perjanjian berat antara Allah dengan Bani Israil kala Ia angkat Gunung Thursina di atas mereka."
"Oleh karena itullah," lanjut Sayyid Quthb dalam Fii Zhilalil Qur'an, "hati mereka berdua harus disatukan dan dipertemukan dalam ikatan yang tak bisa pudar. Supaya hati bisa bersatu, maka tujuan ikatan dan arah yang ingin ditempuhnya juga harus satu. Sementara itu, aqidah merupakan hal paling mendalam dan paling komprehensif dalam menyemarakkan jiwa, mempengaruhinya, mengondisikan perasaan-perasaannya, menentukan berbagai reaksi dan responnya, serta menentukan jalannya di segenap kehidupan."
Hari itu, usiaku berbilang 22. Di tengah renungan tentang pernikahan, mendalami apa sebenarnya menikah itu, apa sebenarnya niatku ini, saat itu dirasa ramai kupingku mendengar pertanyaan klasik wanita lajang seusiaku: "Kapan nikah?"
Pada mulanya pertanyaan seperti itu tidak mengusikku sama sekali. Hanya jika semakin sering rupanya semakin mengganggu juga. Kadang ku jawab dengan candaan seperti "Nanti hari Sabtu atau Ahad." tapi kalau sedang cukup enek dengan pertanyaan itu kadang aku hanya tersenyum sembari menjawab "Secepatnya. Doain aja."
Tak hanya pertanyaan serupa dari luar. Tak jarang juga orang tua memanjatkan harapan pernikahan impian putrinya ini lewat doa-doa mereka, baik yang sembunyi-sembunyi maupun secara langsung mengatakannya sembari tersenyum padaku.
Hari itu aku semakin yakin mungkin ini memang sudah waktunya. Maka aku mulai menyisihkan gaji bulanan cukup besar setiap bulannya, untuk menabung biaya pernikahan. Pun menabung ilmu lewat buku-buku atau kajian pra-nikah, fikih munakahat, parenting, secara online maupun kajian biasa. Ku pikir menikah memang butuh ilmu, suatu saat akan ku praktekan. Walau entah kapan.
Kiranya memang ada beberapa pria yang - katanya - berniat serius denganku. Ada yang memintaku pada kakak-kakakku, ada yang bicara langsung pada Papap, ada pula yang bicara langsung padaku. Tapi tak ada satupun diantara mereka yang dirasa cocok untukku, hingga keraguanku itu mungkin juga membuat mereka ragu untuk benar-benar datang mengetuk pintu rumah orangtuaku.
Hingga tibalah aku pada titik dimana aku mulai lelah dengan keadaan eksternal yang mendesakku untuk segera menikah. Yang kulakukan saat itu justru tak ingin peduli, lebih cuek, dan melupakan segala hal tentang pernikahan. Maka aku mulai mengambil waktu rehat dari buku-buku juga kajian tentang pernikahan itu.
Semasa lajang, tak ada yang menarik dalam hidupku memang. Hari-harinya hanya berisi rumah dan kerja. Tidaklah aku pergi keluar rumah, kecuali untuk bekerja. Dan di tempat kerja ku rasa tak pernah dekat juga dengan lelaki manapun. Sekiranya bukan untuk urusan pekerjaan, seingatku jarang sekali aku mau berinteraksi.
21 Maret 2020, kali pertama kudapati pesan whatsapp dari seorang yang katanya ingin berkunjung ke rumah dibersamai orangtua dan keluarganya.
"Insyaallah lusa aku mau ke rumah kamu sama babeh buat narosan." Katanya. Orang Sunda ini bilang melamar saja narosan. Berasal dari kata naros, yang berarti nanya. Dan saat itu, walau aku juga orang Sunda asli, aku merasa agak asing dengan kata narosan.
Dan, orang itu... adalah bocah yang pernah berkata,
"Kalau udah gede aku mau nikahin kamu."
Sepuluh tahun silam. Sebelum takdir membawanya ke rantau sana, meninggalkan Bandung sekitar 10 tahun lamanya.
Maka, saat itu aku mempersilakannya untuk membuktikan kesungguhannya itu.
Bersambung...
0 komentar