­
#kisah

Blank space on May (chapter 1: It was an accident)

Sabtu, Mei 16, 2015

     Genap sudah satu tahun. 16 Mei 2014. Rasanya semua itu masih jelas terbayang. Suara itu masih jelas terngiang. Luka itu masih juga terasa. Rasa takut itu masih ada.
     Sore itu, sekitar pukul 18.00.
     Ku lihat raut wajah kakak laki-lakiku nampak lain dari biasanya. Jika biasanya ia tersenyum dan bercanda sepulang kerja, kali itu dia mengkatupkan bibirnya begitu rapat. Pandangan matanya nampak kosong. Tanpa bertanya ada apa, aku mencoba menggodanya. Mengajaknya bergurau yang tak sedikitpun lucu dirasanya. Akhirnya dia membuka mulutnya.
     "Papap sakit."
     Hanya itu. Itu yang keluar dari mulutnya.
     Ayahku yang berada jauh dariku memang sudah tiba di masa senja. Lama tak berjumpa terkadang membuatku rindu. Berita ia jatuh sakit mungkin itu kabar terbaru setelah beberapa tahun silam. Sulit memang untuk menghubunginya. Tapi, aku yakin dia tidak pernah sengaja melakukan semua ini. Semua terjadi begitu saja.
     Lupakan soal itu. Mendengar kabar itu cukup membuatku kaget. Takut-takut waktunya tak kan lama lagi. Aku ingin menemuinya.
     "Aku yang jemput mama ya? Mana kunci motornya?" Ujarku kemudian.
     Saat itu ibuku memang sedang ada di rumah kakak perempuanku, yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah.
     "Gak usah. Nanti aa aja yang jemput." Jawabnya. Tak biasanya memang ia melarangku meminjam motornya. Mungkin ia hanya melihat tatapanku yang menjadi kosong. Mungkin ia tahu emosiku yang sedang tak menentu. Yang kemudian menghilangkan kepercayaannya padaku.
     "Gapapa. Udah sana makan aja dulu. Aku jemput mama."
     Akhirnya ia menyerahkan kunci motornya.
     "Hati-hati! Kamu tenang aja! Papap baik-baik aja!" Serunya sebelum aku memacu motornya.
     "Ya!"
*****
     Tibalah aku di rumah kakak perempuanku. Ada ibu di sana yang telah siap aku ajak pulang.
     Ibu sudah siap di belakangku. Tapi enah kenapa, hati kecilku menolak untuk pulang lewat jalan biasanya.
     "Ma, aku gak mau lewat Jalan Terusan Pasir Koja. Lewat Jalan Jamika aja, ya?" Tuturku setelah terdiam sekian detik.
     "Kenapa?"
     "Gak mau aja. Lewat Jamika ya?"
     "Ah, udah lewat pasir koja. Kalau lewat Jamika kan muter, jauh lagi."
     Aku turuti kemauannya.
     Tiba di jalan raya. Rasanya tak ada yang bisa aku dengar, termasuk suara bising kendaraan lain sekalipun. Mataku hilang fokus. Fikiranku entah melayang kemana. Tapi yang aku tahu hati ini terasa dihujam sembilu. Menyakitkan. Bukan. Bukan hanya karena ayahku. Sesuatu yang lain. Yang entah itu apa. Firasatku hanya mengatakan akan ada sesuatu terjadi. Akan ada seseorang yang pergi. Entah itu ayah, atau seseorang yang lain.
     Mungkinkah? Kau! Di mana sekarang? Tolong aku...
     "TASHAAA!!!!!! JANGAN NGEBUT-NGEBUT!! PELAN-PELAN!!!!" Barulah pekikan wanita kesayanganku terdengar memecah lamunanku. Tanpa ku sadari ternyata aku memacu motor itu terlalu cepat.
     "TASHAAAA!!!!!!!" Pekiknya lagi.
     BRAK!!!
     Suara itu. Masih sangat jelas terdengar. Terlambat. Sangat terlambat. Rem tangan dan rem kaki tak membantu menghentikan laju kencang motor ini.
     Bodoh! Umpatku. Bagaimana mungkin karena aku terlalu takut kehilangan orang-orang yang aku sayangi hingga aku dapat membahayakan jiwa bidadari kesayanganku ini? Ibu!
     Tak aku hiraukan segala rasa sakit yang mengigit kaki dan tanganku. Aku sibuk melihat luka pada ibu. Syukurlah, hanya lebam. Kali ini aku beruntung. Jilbabnya melindungi kulitnya dari gesekan trotoar. Hingga tak ada luka lecet padanya.
     Tiba di kamar. Baru aku melihat luka pada kaki dan tanganku. Lebam pada paha kiri, tangan kiri, lecet pada jari-jari kiri. Kebanyakan luka ada disebelah kiri. Mungkin karena aku membanting setir ke kiri dan jatuh ke arah sana.
     "Mana yang sakit?" Tanya kakak laki-lakiku dengan nada yang diturunkan setelah ia memarahiku di ruang tamu. Aku hanya diam menunjukkan lukaku.
     Dia masih mau bertanya mana yang sakit. Baru saja dia marah-marah. Batinku sedikit lega. Mungkin saja dia sudah tidak marah lagi.
     Tiga puluh menit kemudian. Aku dan kakak-kakakku pergi menjenguknya. Ayah.
*****
     Tahun lalu, usiaku baru 16 tahun. Tentu. SIM saja aku belum memilikinya. Mana boleh aku mulai berkendara? Dengan emosional yang masih sulit dikendalikan.
     Sayangnya, karena peristiwa ini aku kehilangan kepercayaan ibu dan kakak-kakakku untuk berkendara lagi. So, hadiah motor untuk sweetseventeen-ku kandas sudah.
     Traumaku juga cukup lama. Setelah peristiwa itu aku tak mau berkendara selama 3 bulan lamanya. Sampai sekarangpun masih jelas aku rasakan perasaan takut itu. Tapi, jika aku terus terjebak dengan trauma, aku tak kan pernah mengalami kemajuan dalam berkendara. Hingga terus aku coba mengemudi. Rasa takut mengemudi berhasil aku tepis jauh-jauh. Tapi rasa takut mengebut (di jalur cepat atau bukan) seperti teman-teman atau pengendara lain, eemmm.....
    

You Might Also Like

0 komentar

Berlangganan


Kicauan @TashaDiana2