­
#kisah

Air magis penggores kisah

Sabtu, Februari 07, 2015

     Gengangan air masih terlihat di luar sana. Bulatan-bulatan kecil nampak mempermainkan genangan air sisa hujan di sana. Gerimis masih mengguyur sepenggal langit kota Bandung. Di sinilah aku, tengah menatung menyaksikan bulir-bulir magis berjatuhan menghujam tanah di balik jendela kamarku, sembari menghangatkan diri yang baru saja kedinginan di bawah naungan hujan. Mengingat peristiwa yang baru saja terjadi.
*****
     Langit mendung begitu hitam pekat menaungi langit kota Bandung. Sore itu aku masih duduk di taman sekolah bersama sahabat-sahabatku.
     "Pulang yuk! Mau hujan nih." Ujar Azmi dengan alis yang sedikit mengkerut, mengkhawatirkan nasibnya nanti jika terkena guyuran hujan.
     "Iya ih. Mana tadi gue nyuci banyak banget. Takut jemuran ga kering kalau keburu hujan." Timpal Susan yang tinggal ngekost sendirian. Anak asal Purwakarta yang merantau ke Bandung yang satu ini memang berbeda dari yang lain. Terkadang logat "loe-gue" ikut hinggap di mulutku terbawa logat khas kawan sebangkuku ini.
     Langit nampak lebih pekat, lampu-lampu mulai dinyalakan. Terasa seperti hari akan malam, padahal jarum jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Kami memutuskan untuk pulang.
     Tiba di gerbang sekolah, rupanya ada dua (katanya) calon kekasih Fitri dan Vinda tengah duduk manis di atas motor mereka. Nampak setia menunggu. Begitu pula Susan, motor barunya nampak setia menunggu, iya laahhh..... haha.
     Singkat cerita, aku telah duduk manis dalam angkutan umum. Tak lama lagi aku turun dari sini.
     Guyuran hujan nampak deras sekali di luar sana. Membuat jarak pandang menjadi lebih pendek, menari ria di atas atap mobil ini, berirama. Suara bulir-bulir air menyamarkan irama musik yang sedang aku dengarkan melalui headsetku. Karenanya, aku naikkan satu lagi volume musikku. Hujan+musik. Hmm.... Terkesan dramatis sebenarnya. Tapi itulah kebiasaanku, aku sendiri selama perjalanan, daripada bosan seperangkat musik yang akan menemaniku.
     Hujan semakin deras, aku semakin riang. Rindu rasanya aku dengan hujan. Hujan-hujanan maksudnya.
     Aku sengaja turun tidak tepat di depan jalan menuju komplek rumahku. Aku ingin berjalan lebih jauh, merasakan bulir-bulir air murni penenang lebih lama lagi. Walau kepala hingga pinggang masih terlindungi oleh payung yang ku bawa. Payung? Bukan melindungiku sebenarnya. Aku lebih mengutamakan tasku. Karena di dalamnya terdapat jurnal penting yang jangan sampai rusak.
     Aku berjalan di bawah guyuran air magis ini. Fikirku melayang ke tiga momen berharga ketika hujan dalam hidupku.
     Pertama, aku teringat waktu empat belas tahun silam.
     Saat itu, aku, ayah, ibu dan kakakku pulang dari rumah paman. Hujan sangat deras mengguyur kota Jakarta. Entah saking panasnya di sana, air hujan yang ku rasakan itu begitu hangat. Ayah melindungi kepalaku dengan tangannya saat ia menggendongku. Kami berlari-lar kecil di bawah guyuran hujan. Menuju ke dalam bajaj.
     Tiga belas tahun silam.
     Ketika itu bocah empat tahun sedang bermain hujan-hujanan bersama sahabatnya di taman kanak-kanak. Ya, anak itu adalah aku. Ibuku memang selalu melarangku hujan-hujanan, ia takut aku jatuh sakit. Entahlah, aku begitu bandel tidak mau mendengarnya. Justru...
     "Aku mau hujan-hujanan, aku mau sakit, biar disayang-sayang sama Mama." Ujarku pada sahabatku.
    "Aku juga." Ujarnya.
    Kali ini aku tersenyum mengingat perkataanku saat itu. Bodoh! Tidakkah cukup kasih sayang yang Ibu berikan padaku?
     Lalu aku teringat momen hujan lima tahun silam. Momen yang sangat menggelikan. Selalu membuatku ingin lenyap begitu saja karena malu. Entahlah, aku begitu keras kepala seolah mengerti tentang cinta. Padahal usiaku baru terbilang 12 tahun.
     Semua berawal dari godaan sahabat-sahabatku yang mendesak dia untuk mengutarakan perasaannya padaku. Aku hanya tertunduk malu saat itu. Hingga di bawah guyuran hujan yang mempermainkan kami menyamarkan suaranya. Ya, ia menyatakan cintanya dan menanyakan jawabanku saat kami dalam perjalanan pulang, saat aku berjalan di belakangnya. Dengan wajah blushing aku hanya mengulur jawabanku, meminta waktu untuk memikirkan apa jawabanku. Aku kira ia hanya bercanda saat itu, ternyata sekitar pukul 6 sore ia sungguh menanyakan jawabanku via sms. Dia serius.
     Fikirku telah kembali pada hari ini. Aku. Yang telah tumbuh remaja. Mulai mengerti urusan dunia.
     Hujan begitu mempermainkan perasaanku. Seperti angin yang tengah mempermainkan rok abu-abuku yang basah kuyup. Untunglah hari ini hari Sabtu, besok libur.
*****
     Aku meminum teh hangat dengan perlahan. Selimut tebal begitu erat mendekap tubuhku yang mengigil.
     Aku telah puas dengan guyuran hujan hari ini. Telah puas mengingat masa kecilku dulu. Tiga momen dalam hujan yang tak terlupakan. Indah sekali.
     Saat ini aku bertanya-tanya. Momen apa lagi yang akan menyapaku di tengah hujan nanti?

You Might Also Like

0 komentar

Berlangganan


Kicauan @TashaDiana2