Hargailah proses seseorang untuk menjadi baik!
Kiranya itu yang selalu teringang di telingaku. Di tengah lingkungan dengan berbagai dera fashion penggoda pendirian.
Sulit memang. Tapi sungguh tak sesulit yang dibayangkan juga untuk menjadikan istiqamah sebagai mahkota kita, qana'ah yang menjadi liontin kalung kita, dan ikhlas yang menjadi gelang kita. Sungguh tak sesulit yang dibayangkan menjadi perhiasan dunia jika niat yang kuat menjadi pondasi kita.
Aku teringat sekitar lima tahun yang lalu. Padahal usiaku sudah 12 tahun. Tapi aku seolah keras kepala tak mau mengenal batasan aurat. Saat itu dan tahun-tahun sebelumnya, aku begitu tidak menyukai pakaian yang serba panjang. Tak nyaman rasanya. Gerah! Padahal orang tua dan kakak-kakakku selalu mengingatkan, "Pake baju yang bener! Malu!".
Bagi mereka, tak perlu dengan khimar dulu, cukup dengan pakaian yang tertutup saja dulu. Entahlah, aku tidak suka pakaian panjang. Tak bebas bergerak rasanya. Aku lebih nyaman dengan hotpants dan kaus dengan lengan pendek, atau tanktop jika aku sedang berada di dalam rumah.
Hingga suatu sore hari. Aku sedang bermain dengan teman-teman masa kecilku di halaman belakang rumah. Teman sekolahku datang untuk mengajak les persiapan ujian nanti. Saat aku melintas di depan teman laki-lakiku, dengan pakaian serba pendek, dia hanya menundukkan pandangannya, tak ingin sedikitpun melihatku. Ku fikir, dia sudah mengerti mana yang baik dilihat dan mana yang tidak.
Aku bersiap-siap dan mengganti pakaianku dengan yang lebih sopan. Diperjalanan, aku berjalan di depan dua kawan laki-lakiku yang tadi. Teman laki-laki yang tadi benar-benar tak ingin melihatku dengan pakaian sebelumnya berkata, "Kamu pake baju yang bener! Malu! Udah gede juga!". Di depannya seolah aku mengabaikan perkataanya, hanya menjawab sekenanya saja, "Iya."
Tahun berikutnya. Kali ini aku mulai berfikir. Teringat dengan kalimat itu. "Kamu pake baju yang bener! Malu! Udah gede juga!".
Aku mulai memanjangkan pakaianku. Sedikit demi sedikit. Kalau tahun sebelumnya aku mengenakan celana satu jengkal saja, kali ini aku kenakan celana selutut. Lalu sebetis. Lalu menutupi mata kaki, celana jeans sebenarnya. Baju. Sedikit demi sedikit aku panjangkan. Tanktop, lalu kaus berlengan pendek, lalu berlengan sampai sikut, sampai benar-benar sampai pada pergelangan tangan.
Ku kira ini sudah cukup. Dengan pakaian serba panjang. Tapi kemudian tanpa sengaja aku mendengar perbincangan teman-teman.
"Tau? Yang gak pake khimar (kerudung) nanti di gantung rambutnya di neraka, di bawahnya ada api."
Tak sengaja aku mencuri percakapan mereka. Hingga setiba di rumah, aku bercermin lalu menjambak rambutku sendiri. Untuk memastikan betapa menyakitkannya rambutku ditarik seperti itu. Aku bergidik ngeri.
Walau sulit sekali. Aku mencoba membiasakan diri dengan khimar. Aarrrgghhh...... Semua terasa! Panas, gatal, ribet! Aku melepas keudungku lagi sambil bercermin dalam kamar. Menyisir rambut hingga rapi. Ku lihat aku begitu cantik tanpa kerudung itu. Aku tersenyum. Tapi.....
"Tau? Yang gak pake khimar (kerudung) nanti di gantung rambutnya di neraka, di bawahnya ada api."
Aku tertunduk. Bergidik ngeri lagi. Maka, aku kenakan lagi khimarku.
Gatal? Itu hanya perasaan yang belum terbiasa. Jika aku terbiasa, pasti rasa gatal di kulit kepala ini akan hilang. Panas? Gerah? Sungguh tak sebanding dengan panas dan gerah di neraka sana. Ribet? Terasa seperti jarum dan kain yang mencekik leherku? Juga tak sebanding menyakitkannya dengan siksa di neraka sana. Batinku saat bercermin. Maka, mantaplah aku mengenakan kerudung saat usiaku 13 tahun.
Tahun berikutnya. Aku terus belajar. Ternyata kerudung saja belum cukup! Saat itu, aku melihat-lihat post dari beranda akun facebook milikku. Dijelaskanlah di sana bahwa membungkus aurat tidaklah benar karena belum benar-benar menutupnya. Masih seperti berpakaian tapi telanjang. Lalu ku lihat fotonya. Foto wanita berkerudung dengan baju yang dimasukkan ke dalam celana jeans ketatnya. Foto itu dishoot dari bagian belakang. Nampaklah jelas lekuk tubuhnya. Tentulah siapapun yang melihat akan tertuju langsung pandangannya pada..... Yaa... kau tahu sendiri lah.
Aku kembali bercermin. Penampilanku pun tak berbeda dari wanita di foto tadi. Dengan baju sepinggang yang tidak menutup apa yang seharusnya tertutup.
Usiaku 14 tahun, seharusnya aku sudah menutup ini. Tubuhku bukan tubuh anak kecil lagi. Seharusnya aku tutupi lekuk tubuh bagian sini. Batinku saat itu.
Lalu, sedikit-sedikit aku panjangkan bagian bawah dari baju-bajuku. Hingga lebih menutupi apa yang harus aku tutupi. Sejengkal dari pinggang, dua jengkal, sampai menutupi kedua lututku. Dan aku bertahan dengan pakaian seperti ini dua tahun lamanya.
Tahun berikutnya, usiaku 16 tahun. Saat itu aku mengobrol dengan beberapa laki-laki shaleh yang menuturkan bahwa mereka terkagum-kagum dengan wanita berkerudung panjang. Lagi-lagi aku bercermin. Kerudungku masih pendek, tidak menutupi dada. Maka, sedikit demi sedikit aku memanjangkannya.
"Wow, something different on you!" Seru sahabat baikku di kelas begitu aku mengubah model kerudungku.
"Wait wait! I see. You hide your chest now. It's better on you. You look more beautiful like this. I like it." Pujinya.
Aku hanya tersenyum. Senang ada yang menambah semangat hijrahku.
"Thanks. Then when your turn?" Sahutku.
"Gak tau, Sha. Do'ain aja. Hehehe."
Ya, sahabatku yang satu ini memang sedang ingin berhijrah juga mengenakan jilbab. Namun katanya sulit juga. Dia takut lepas-pakai lepas-pakai. Tapi setidaknya baru belajar pun itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Aku lebih menghargai percobaannya.
Di usiaku yang ke 16 ini, aku terus belajar. Belajar yang di dominasi dengan googling. Menemukan ilmu baru. Dan, ternyata penampilanku masih belum cukup. Aku masih suka mengenakan celana jeans. Mulailah aku mengoleksi long dress dengan kaus kakinya.
Beberapa bulan kemudian. Sahabat baikku, Firman, mengirimiku paket. Salah satunya sebuah buku tentang berhijab yang syar'i. Ternyata masih belum cukup juga. Payah, long dressku masih memperlihatkan lekuk tubuhku di bagian pinggang. Maka, aku akan mulai sedikit demi sedikit melonggarkan pakaianku.
Kini usiaku menginjak 17 tahun. Seharusnya sudah tidak diragukan lagi pemikiranku untuk membedakan mana yang baik dan yang tidak. Walau terkadang aku merasa kurang PD dan kurang nyaman dengan penampilanku yang lain dari remaja seusiaku pada umumnya. Atau berbagai fashion yang begitu menggoda untuk mengenakannya. Tidak! Aku akan belajar menjaga identitasku sebagai muslim.
Untuk menjadi baik memang tak instan. Segalanya butuh proses dan perjuangan. Walaupun ada yang cepat, ada yang lambat. Maka jangan pernah lihat dari hasilnya saja, hargai pula prosesnya.
Karena tak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Belajar istiqamah, belajar mengulurkan berhijab, belajar menjaga identitas diri sebagai muslim. Insya Allah, Ia pun akan lebih menghargai amal yang walaupun sedikit tapi terus dilakukan dengan rutin.
Bagaimana jalan hidup kita, tergantung pada pilihan kita. Jika ingin menjadi wanita terhormat, maka hormatilah diri sebagai wanita. Tubuh kita terlalu berharga untuk sekadar menjadi santapan mata lelaki penuh syahwat.
Istiqamah atau terbawa arus zaman. It's your choice for your life, then choose well, my dear.
2 komentar
semagat untuk istiqamah! ^0^
BalasHapussabar itu bukan hanya sabar di kala musibah, tapi juga sabar untuk taat pada aturan-Nya ;)
Iya :)
BalasHapusMakasih :)