Riak air menambah jelas keindahan alam di desa ini. Daun-daun sepanjang jalan elok melambai tertiup angin. Sungai yang jernih membelah desa. Dua bocah berlari-lari saling mengejar. Ayahnya hanya menatap pilu diatas kebahagian kedua putrinya.
Di titik tempat lain terdapat sebilik pancuran yang biasa digunakan satu keluarga untuk melakukan hajatnya. Di dalamnya ada seorang gadis yang hanya mengenakan kain samping untuk menutupi tubuhnya sedang mencuci.
"Eteeehh.... mana lagi cuciannya atuh? Mana punya Ujang Zidan?" Seru gadis itu setengah berteriak sembari berdiri.
"Itu udah di cuciannya!" Seru seorang wanita dari dalam rumah.
"Mana iiihh??"
"Sebentar atuh. Kamu mah harus dintunjukin terus nyari barang teh!"
Terdengar suara bocah mendekat.
"Nina?" Sapa seorang pria. Gadis itu menoleh ke sumber suara.
"Eh... Kang Arif. Mau apa, kang?" Tanya gadis itu sedikit ketus.
"Akang mau ketemu teteh kamu. Ada?"
Wanita itu muncul dari balik pintu rumah.
"Tuh! Bajunya disitu!" Wanita itu menunjuk-nunjuk ke arah cucian adiknya.
"Ibuuuuuu!!!!!" Seru bocah-bocah memeluk kaki ibunya. Sang ibu terperanjat menyadari kehadiran kedua putri kecilnya.
"Hasna? Farida?" Ibu memeluk putrinya.
"Anak-anak merindukan kamu. Jadi aku antar mereka ke sini. Biar mereka tinggal dulu di sini beberapa hari. Nanti aku jemput lagi." Ujar Arif.
"Terima kasih." Ujar Julaikha dengan mata indahnya yang berbinar bak kejora masuk di bola matanya. Yang cahayanya memancarkan cinta. Ya, wanita itu masih mencintai mantan suaminya, bahkan rindu membuncah di dadanya. Tapi Arif, entah kemana cintanya dahulu. Ia begitu tak ingin memandang wajah Julaikha, wanita yang dahulu pernah ia kasihi.
"Ibu, pulang yuk!" Ujar Hasna dengan senyum manjanya.
Sang pria datang mengetuk pintu rumah gadis kecintaannya dengan hati di tangannya. Dengan harapan dapat mengetuk pula hati orang tua sang gadis untuk meminta anaknya menjadi teman hidup sampai akhir hayatnya.
Terjadilah percakapan, negosiasi, melobby. Agak sulit rupanya bagi si pria meminta hati calon ayah mertuanya untuk menghalalkan hubungannya dingan sang putri.
"Bapak tahu? Dulu Rasulullah tidak pernah memaksa siapapun soal menikah. Dulu ada mantan sepasang suami istri. Pasca perceraian, laki-laki itu selalu membuntuti mantan istrinya untuk memastikan mantan istrinya baik-baik saja. Sembari membuntuti dia selalu menangis karena kecintaannya yang masih mendalam pada wanita itu. Rasulullah yang melihat itu menyarankan pada wanita itu untuk kembali rujuk pada mantan suaminya karena kasihan. Tapi wanita itu menolak dan Rasulullah tidak memaksanya." Ujar si pria sedikit menyindir ayah si gadis yang telah sedikit memaksanya perihal rencana pernikahan putrinya.
"Pak, saya mencintai putri bapak. Saya pastikan akan menjaga dia dan membahagiakan dia." Bujuk pria itu lagi.
Entah alasan apa dia tetap tidak menyerahkan putrinya. Hingga akhir cerita pria itu menyerah memperjuangkan cintanya. Gadis penurut itu juga hanya pasrah dengan kehendak orang tuanya.
Tiba pria kedua yang hendak melamar sang putri. Hasilnya sama, ia ditolak ayahnya. Datang juga pria ketiga, keempat, kelima. Tetap sama.
Waktu terus berlalu. Tahun-tahun silih berganti. Gadis itu telah berusia 40 tahun. Nasib kurang baik membuatnya menjadi seorang perawan tua. Dia jatuh sakit. Hari demi hari kesehatannya terus memburuk. Hatinya mulai menyalahkan ayahnya.
"Andai ayah menerima lelaki pilihanku dulu, mungkin saat ini aku sedang bersama seorang suami dan anak-anak yang mengurusku. Bagaimana ayah?! Pilihanku tak ada yang tepat dimatanya, tapi pilihannya sendiripun tak ada untukku." Umpatnya.
Wanita itu terkulai lemah di ranjangnya. Suara paraunya memanggil-manggil ayahnya. Ayahnya mendekat. Selangkah.
"Ayah, mendekatlah selangkah lalu katakan aamiin." Ujar anaknya.
"Aamiin..." Ujar ayahnya sembari mengangkat tangannya setelah melangkahkan kakinya selangkah.
"Mendekatlah lagi ayah." Ujar anaknya.
"Aamiin..." Kata ayahnya lagi sembari melangkah.
"Mendekat lagi, ayah." Katanya lagi.
"Aamiin..." Kata ayahnya lagi.
Terus saja begitu hingga ayahnya tiba di dekat putrinya.
"Ayah, tahukah ayah apa yang saya do'akan dan ayah aamiinkan?" Tanya sang anak lirih.
"Apa, nak?" Tanya ayah.
"Saya berdoa agar Allah menolak kedatangan ayah di surganya sebagaimana ayah menolak setiap lelaki yang hendak menikahiku. Dan ayah telah mengaminkannya." Ujar wanita itu di akhir hayatnya.
Pagi itu. Matahati hangat menyinari isi bumi. Jukaikha membawa bayi kecilnya ke luar rumah ayahnya. Memandikannya dengan cahaya mentari lagi. Tangis bayi itu terhenti. Tergantikan dengan mulut kecilnya yang menguap dan tubuhnya yang menggeliat lantas kembali tertidur dengan tenang.
"Julaikha!" Seru wanita seusianya, ibu Dedeh, yang tengah menuntun putri seusia Hasna, Vida namanya.
"Kamu sudah melahirkan?" Katanya lagi sembari mendekat.
"Euleuh... meni ganteeeng. Siapa namanya?" Tanyanya lagi sembari mencolek pipi bayi mungil itu.
"Aku belum tahu." Sahut Julaikha.
"Lah? Kenapa belum tahu? Ngobrol sama suami kamu buat namanya." Ujarnya lagi.
Kepedihan di hati Julaikha semakin terkuak. Bagai sayatan pisau yang ditaburi garam diatasnya.
"Julaikha?" Tanya wanita itu memecah lamunan Julaikha.
"Eh.. Zidan. Namanya Zidan."
*****
Pria itu bermain dengan burung peliharaannya di beranda rumah.
"Punten pak Arif." Sapa wanita yang tak kalah cantiknya dengan Julaikha di depan rumah yang telah lama memendam rasa pada Arif, Zainab. Namun, tak pernah ada satu orangpun yang sadar akan perasaan Zainab kepada Arif selama ini.
"Mangga." Sahutnya.
Kedua putri kecilnya berlari ke arahnya.
"Bapak, kita ke rumah kakek." Hasna merajuk.
"Kita ke ibu." Farida juga merajuk.
"Kenapa Ibu belum pulang, Pak?" Tanya Hasna lagi.
"Udah seminggu, Pak. Ayo kita jemput ibu pulang." Timpa Farida.
Arif hanya menghela nafas. Bagaimana juga cara menjelaskan soal perceraian kepada anak sekecil ini?
"Nak, dengarkan bapak. Ibu kalian gak bakal pulang lagi ke rumah ini. Dia bakal tinggal di rumah kakek." Jelas Arif.
"Tapi kenapa? Ini kan rumah ibu?" Bisik Hasna lirih.
Mata kedua putrinya berkaca-kaca. Kristal bening membendung dan tak kuasa tertahan maka meluncurlah menganak sungai diriringi suara jerit tangis mereka memanggil-manggil ibunya.
"Sshh... Sh Sh... Nak, hei. Dengerin ayah dulu, sayang. Hei, jangan nangis dulu." Ujar ayahnya menenangkan. Tangisnya terhenti sejenak.
"Bapak sama ibu sudah...." Kalimat Arif terhenti. Tak mungkin ia menjelaskan soal perceraian pada putrinya yang masih kecil ini. Mereka terlalu kecil untuk mengerti masalahnya.
"Sudah.... gak bersama lagi karena satu alasan orang dewasa. Anak-anak seperti kalian suatu saat nanti pasti mengerti sendiri." Tuturnya lagi.
"Tapi, pak. Hasna ingin ketemu ibu." Hasna menangis lagi.
"Kalau Hasna sama Farida ingin ketemu ibu, bapak antar ke rumah kakek. Kalian boleh menginap di sana. Nanti bapak jemput lagi." Tutur ayahnya.
Kedua gadis kecil itu berlari tanpa berkata apa-apa. Beberapa menit kemudian mereka kembali dan menarik tangan ayahnya.
"Ayo ke rumah kakek, pak."
Suara kasar pria itu menggelegar membelah langit. Hasna dan Farida yang saat itu sedang bermain dengan belasan ekor kelinci di beranda rumah menoleh ke arah pintu. Keduanya berlari mendekati sumber suara mengerikan itu. Didapatinya seorang ibu yang sedang menggendong bayi kecilnya dengan tentengan tas besar. Air mata di pipinya menganak sungai. Apa daya? Suaminya tak percaya lagi padanya, ia pun sampai hati mengusirnya. Wanita itu pasrah berjalan membawa bayi kecilnya.
"Ibu? Ibu mau kemana?" Tanya Hasna dengan alisnya yang mengkerut. Mata bulanya berkaca-kaca.
"Ibu mau ke rumah kakek, nak." Wanita itu tersenyum dalam tangisnya.
"Kenapa ibu bawa baju banyak itu?" Tanya Farida.
"Ibu mau menginap di sana."
"Ibu kenapa menangis?"
"Ibu kangen sama kakek, nak."
"Hasna juga, bu. Hasna mau ikut ke rumah kakek."
"Farida juga, bu." Kedua gadis belia itu memeluk kaki ibunya. Sang ibu berlutut di hadapan buah cintanya.
"Nak, kalian harus tinggal di sini. Tunggu di sini, ya? Siapa yang bantu ayah di sini kalau kita semua pergi ke rumah kakek?" Bujuk sang ibu.
Rasa sayang kepada ibu dan ayah memang sama besarnya bagi kedua putri kecil itu. Hati keduanya menolak untuk tinggal, hati keduanya ingin ikut dengan sang ibu. Apalagi Hasna yang duniapun tahu bagaimana manjanya dia pada ibunya, tak pernah ingin dipisahkan dengan ibunya. Namun, apa mau dikata? Bujukan lembut dengan sedikit bumbu kebohongan sang ibu berhasil mencuri hati mereka. Ya. Apa yang mereka pikirkan? Yang mereka tahu hanya ibunya menangis karena merindukan ayahnya dan semuanya baik-baik saja. Hingga akhirnya kedua putri kecil Julaikha mengangguk tanda setuju. Dikecupnya pipi manis kedua gadis kecil itu.
*****
Malam ini purnama menggantung indah di hamparan kertas hitam yang luas. Bulat sempurna. Hanya ada secuil awan di dekatnya. Cahayanya menyelusup masuk dari jendela.
"Pppssstt.... Hasna." Bisik Farida yang tengah berbaring di tempat tidurnya.
"Iya?" Bisik Hasna juga dengan menoleh pada tempat tidur kakaknya.
"Kamu belum tidur?"
"Belum. Kamu?" Tanya sang adik dengan begitu lugunya. Jelas saja kakaknya belum tertidur dengan pertanyaannya.
"Belum." Jawab Farida tak kalah lugunya.
"Kenapa kamu belum tidur?" Tanya Hasna.
"Aku belum ngantuk."
"Aku gak bisa tidur."
"Aku juga."
"Iya, aku juga."
Hening sejenak. Hasna bangun dari tidurnya. Ia melangkah mendekat ke arah kakaknya. Lalu tidur di samping Farida.
"Kenapa kamu tidur di sini?" Tanya Farida.
"Aku mau ke rumah kakek. Aku kangen ibu." Sahutnya.
"Aku juga."
"Ibu lagi apa ya?"
*****
Tangis bayi memecah keheningan malam. Tak ada suara jangkrik terdengar. Mungkin tersamarkan suara bayi ini. Wanita itu menangis menenangkan bayi dalam dekapannya.
Bagai burung mengarungi angkasa tanpa sayap. Kenyataan yang paling menyakitkan dalam hidup adalah ketika mengarungi kisah tanpa kepercayaan.
Perut itu telah membengkak. Ibu duduk di beranda rumah. Ia membuka sedikit bajunya keatas. Membebaskan permukaan kulit perut buncitnya dibelai angin. Tangan lembutnya mengusap-usap lembut memutar. Hasna. Gadis manja yang terkadang nakal itu jahil. Ia meraih batu di dekatnya, lalu melemparkannya tepat pada perut sang Ibu.
TUK!
"Aww!" Pekik Ibu. Ia hanya menyeringai kesakitan sembari kembali mengusap perutnya.
"Ada apa anak ini? Ssshhh... Sakit." Gerutunya lagi.
Entah apa. Tapi rasa sakit itu tak berhenti. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh Ibu. Semakin kuat. Semakin menyakitkan. Perutnya terasa seperti diremas kuat-kuat. Ibu mulai berteriak kesakitan. Keringat dinginnya bercucuran. Ayah yang mungkin mendengar pekikan itu menghambur langkahnya keluar. Mengantar Ibu ke klinik bersalin terdekat.
*****
Tangis bayi menggema di ruangan itu. Ibu telah berbesar hati diantar suaminya ke klinik ini. Ia berbesar hati, mungkin bayi kecil ini akan menghapus jarak diantaranya dengan suaminya berbulan-bulan ini.
Wanita itu menggenggam jemari suaminya. Suaminya menoleh. Ia tersenyum.
"Terima kasih." Ujarnya dengan suara yang parau.
"Setelah ini saya urus perceraian kita."
Terasa sembilu menyayat hati wanita itu. Rasa sakitnya melahirkan telah hilang tersingkirkan oleh tajamnya kalimat itu. Jemarinya semakin erat menggenggam tangan suaminya.
"Pak, kenapa bapak masih bersikeras menceraikan aku? Apa salah aku?" Air matanya kembali menganak sungai di pipinya.
Hening.
"Bayi ini anak kamu, Pak. Demi Tuhan ini anak kamu." Suara paraunya tetap terdengar.
Suaminya tetap tak mau mendengar. Ia hanya berlalu keluar ruangan.
Hari silih berganti minggu, hingga empat bulan telah berlalu. Pohon jeruk yang dahulu ditanam Hasna tumbuh sempurna. Pohonnya berbuah lebat. Jeruknya begitu dangkal diraih. Memudahkan Hasna untuk memetiknya. Buahnya sangat manis. Warnanya jingga dan besar buahnya. Hasna merawat pohon itu dengan sangat baik. Setiap pagi ia menyirami pohon jeruk itu. Hingga pagi ini pun ia sedang menyirami pohon jeruk itu.
"ANAK SIAPA YANG KAMU KANDUNG?!" Bentak seorang pria dari dalam rumah.
"Kamu tuduh aku selingkuh? Ini anak kamu!" Seru wanita membela diri.
Hasna melirik ke mata Farida yang juga sedang menyirami pohon jeruk itu. Keduanya saling bertatapan lalu melangkah ke dalam rumah.
"ZULAIKHA! ANAK SIAPA YANG KAMU KANDUNG SEKARANG?!" Ayah terlihat sangat marah sembari menggenggam erat rambut panjang Ibu.
"Ini anakmu, Pak." Ibu terus menangis.
"Bohong! Selama ini aku di Jakarta!" Ayah tetap tidak percaya.
"Demi Tuhan, ini anakmu..." Isak tangis Ibu semakin terdengar lirih.
Hasna dan Farida menyaksikan kekerasan itu di balik lemari hias. Keduanya nampak ketakutan.
"Hasna, aku takut." Ujar Farida.
"Aku juga." Jawab Hasna.
Ayah yang menyadari keberadaan putrinya langsung melepaskan Ibunya.
"Mau kemana kalian, anak-anak?" Tanya sang ayah.
"M... Mau ke kamar, Pak." Jawab Farida.
"Sana. Masuklah ke kamar kalian." Ujar ayah begitu lembut.
Hasna dan Farida berlari kecil dengan ketakutan melewati orang tuanya. Mata Hasna sedikit melirik Ibunya yang tengah terisak.
Mungkin roda telah bosan terdiam. Ia mulai bergerak memutar. Roda kehidupan telah berputar. Akankah ini menjadi awal kisah memilukan gadis kecil itu? Ataukan selalu Roda akan kembali berputar ke atas?
"Setelah anak itu lahir. Kita cerai."
Hasna sedang terlelap begitu nyenyak. Ibu hendak memasak. Namun, belum ada tetangga yang menyalakan apinya. Ibu sengaja pergi ke rumah Nenek Darsih. Rumahnya cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Ia sengaja berjalan untuk meminta api ke rumah Nenek Darsih.
Wanita itu tiba di rumahnya. Dengan api di obornya. Yang susah payah ia jaga agar tidak mati tertiup angin pagi. Berjalan entah berapa kilometer jauhnya untuk meminta api. Namun, manja. Sangat manja. Ibu kembali disambut tangisan Hasna yang memekakkan. Bocah itu berteriak-teriak bertanya kemana ibunya pergi.
"Sshhh.... Ibu ada di sini, nak." Ibu merangkul tubuh mungil Hasna. Namun apa mau dikata? Hasna sudah terlanjur marah.
"Ibu dari mana? Habis minta api?" Tanya Hasna sambil tetap menangis.
"Iya, sayang. Ibu habis minta api dari Pak Hasan." Ujar sang Ibu menenangkan. Pak Hasan adalah pria tua baik hati di samping rumah.
"Ibu bohong! Hasna tau! Ibu habis minta api dari Nenek Darsih, kan?!" Hasna tetap marah dalam tangisnya.
"Enggak, nak. Ibu gak bohong. Ibu minta api dari Pak Hasan."
"Ibu bohong! Buang apinya! Hasna mau ikut ke rumah Nenek Darsih!"
Ibu hanya terdiam. Menghela nafas. Tentu. Berjalan sejauh itu untuk mendapatkan api, begitu dapat apinya harus dipadamkan, lalu kembali lagi berjalan jauh untuk meminta api? Melelahkan.
"Sayaaang.... minta apinya ke Pak Hasan aja ya? Pak Hasan udah punya api tuh." Bujuk sang Ibu.
"Ke rumah Nenek Darsiiih!" Hasna tetap bersikeras.
Akhirnya Ibu mengalah. Ibu memadamkan apinya lalu menggendong Hasna kembali ke rumah Nenek Darsih untuk meminta api.
Semua orang dapat melihat sifat manja Hasna. Sifat cengeng Hasna. Yang sulit untuk berhenti jika sudah menangis. Namun sang Ibu tetap berlemah lembut memperlakukan sifat menjengkelkannya. Semua orang tahu Hasna anak yang manja pada ibu dan ayahnya.
"Mmmmkk!" Ibu menutup mulutnya, menahan mual.
"Mmmkk! Mmmk!" Katanya lagi sembari berlalu ke kamar mandi.
Wanita itu kembali setelah merasa lebih baik. Kembali ia ke meja makannya. Menyiapkan perbelakan adik bungsunya.
"Teh, mana ikannya?" Tanya bibinya Hasna.
"Itu di atas meja." Sahut Ibu.
Hasna asyik bermain bekel dengan Farida.
"Ikan buat Pak Guru mana?" Tanyanya lagi.
"Itu diatasnya."
"Ayam buat temen-temenku mana?"
"Di rantang itu udah siap semuanya."
"Mangganya mana?"
"Di tas."
"Yaudah, udah siap semuanya kok. Nina pergi piknik dulu."
"Hati-hati."
Kicauan burung nyaring terdengar. Mencuri perhatian Hasna dan Farida. Di halaman rumah, tergantung sarang burung dengan burungnya yang molek. Warnanya biru menyala dengan merah di lehernya yang juga merah menyala, matanya bulat, paruhnya melekuk indah, cantik. Hasna dan Farida jatuh cinta pada burung itu. Burung baru mungkin milik ayah mereka. Ibu datang menghampirinya. Nampak paruh burung itu keluar nyaris mematuk kepala kecil Hasna. Dengan sigap Ibu menarik Hasna.
"Paruhnya tajam." Ujar Ibu.
Sang ibu melangkah masuk lalu kembali dengan membawa sebilah pisau daging, mengambil burung itu dari sarangnya. Burung cantik itu direbahkan. Paruhnya ditahan oleh lengan kirinya. Tangan kanannya siap memotong paruh tajam namun indah itu. Namun,
PAK! PAK!
Burung itu mengepakkan sayapnya lalu terbang dengan bebasnya. Suaranya nyaring terdengar meledek dan begitu bahagia. Mungkin dia lega piau tajam itu tak berhasil menyentuhnya.
"Ehh... Biarin lah. Burungnya lepas." Ujar ibu.
Riak air kolam ikan belakang rumah menambah suasana syahdu pagi itu. Embun pagi masih menggelayut manja pada daunnya. Kicauan burung bernyanyi bersahutan menyambut sang mentari yanga malu-malu bersinar di balik pegunungan. Sinar sang fajar menyelusup masuk ke dalam bilik kamar dua bocah itu. Ditambah lagi ibu yang membukakan tirai sekaligus jendela kamarnya. Semakin leluasa bagi sang fajar menyinari kedua pasang mata yang begitu masih lengket terpejam. Keduanya menggeliat. Meregangkan tubuhnya. Tidurnya terganggu oleh sinar pagi itu. Ibu hanya tersenyum. Walau tak tega membangunkan putrinya, apa daya ia telah berjanji mengajak putrinya berjalan-jalan ke kebun-kebunnya.
Hasna begitu semangat bangun dari tidurnya lantas bersiap-siap. Sementara Farida nampak kedua matanya masih begitu lengket untuk terbuka, pikirannya masih melayang-layang di alam mimpi. Pada akhirnya hanya Hasna yang ikut bersama ibunya.
Hamparan kebun teh terbentang luas di depan mata. Terhampar hijau. Beberapa orang penjaga kebun teh ini tengah berjalan tak jauh dari tampat Hasna berdiri saat ini.
"Gimana tehnya?" Tanya Ibu.
"Baik, Nya. Subur. Sebentar lagi pucuknya tumbuh. Kita panen daun tehnya." Sahut salah seorang wanita di sana dengan ramah.
Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu melanjutkan jalan-jalan paginya.
Tiba di kebun cengkeh. Di sana ada pula pria paruh baya yang tengah berjalan. Ia sadar kedatangan Hasna dengan ibunya.
"Eh... Non Hasna. Pagi pagi udah bangun, rajinnya. Mau kemana, Non?" Tanyanya.
"Jalan-jalan, Abah." Sahut Hasna. Ibu hanya tersenyum.
Lanjut lagi ke kebun pisang, kebun mangga dan nanas serta sawah. Untuk mengontrol keadaanya. Semua dalam keadaan baik. Entah bagaimana cara orang tua Hasna mengumpulkan semua kebun kebun itu. Bahkan hidup tanpa uang pun pasti mereka akan tetap hidup. Bagaimana tidak? Beras ada di sawah. Sayuran dan buah-buahan ada di kebun, untuk lauk-pauknya ada ikan di kolam yang beranak-pinak, atau ternak ayam dan telur-telurnya, untuk susu ada ada sapi di belakang rumahnya. Atau bahkan semua itu dapat dijadikan ladang usaha dengan menjual setiap hasil panennya ke kota. Manis sudah hidup keluarga kecil bahagia ini.
Tiba di belakang rumah. Ada sepetak tanah tersisa, belum tertanam apa-apa.
"Hasna, kamu mau tanah ini ditanam apa?" Tanya ibu.
"Hasna mau jeruk, bu." Sahut gadis kecil lugu itu.
Bab 1
Perkenalan hidup gadis Kecil
Layaknya bulir-bulir air yang berjatuhan dari langit, memiliki kesan magis, yang juga memiliki takdir pendaratan yang berbeda-beda. Ada yang jatuh menhujam genting, dedaunan terlebih dahulu lalu barulah jatuh ke tanah, ada pula yang langsung menghujam tanah, menciptakan bulatan-bulatan kecil di atas genangan air.
Seperti takdir manusia yang juga berbeda-beda. Termasuk juga takdir gadis kecil yang tengah berbahagia bermain-main dengan hujan bersama teman-temannya.
Tasikmalaya, tahun 1968. Aku hanyalah seorang yang diutus Tuhan untuk mencatat setiap peristiwa yang dialami oleh gadis kecil itu. Hari ini tak banyak tugas untukku. Hanya mengawasi dan merekam setiap kejadian gadis kecil yang tengah bermain di bawah naungan hujan. Gadis itu berbilang 6, sebut saja namnya Hasna.
"Hujan! Hujaaaannn!!! Jangan berhenti!!" Seru Hasna sembari meloloskan bajunya. Kini ia hanya berbalut celana pendek dan kaus dalam, begitu pula dengan dua orang teman kecilnya dan satu orang kakak perempuan yang perbedaan usia dengannya hanya terpaut satu tahun saja.
Entah apa yang mereka lakukan. Hanya bermain perosotan di teras rumah yang licin. Dengan menggunakan sehelai baju mereka begitu riang bermain perosotan. Walaupun hujan telah lama reda, bocah-bocah itu tetap saja bahagia bermain dengan sisa air hujan.
"Farida! Hasna! Udah, sayang. Masuk yuk! Mandi. Nanti kamu masuk angin kalau terlalu lama hujan-hujanan." Seru wanita paruh baya di bibir pintu besar itu.
"Bentar, Bu. Hasna masih mau main sama temen-temen."
"Yaudah, temen-temen Hasna juga ikut mandi di sini. Yuk!"
"Nanti, Bu...." Elak Farida
Sang ibu hanya menghela nafas panjang sembari tersenyum.
"Hasna, Farida, bapak baru pulang dari Jakarta. Bapak bawa baju baru yang banyak buat kamu. Buat Elis sama Rumana juga. Bagus-bagus. Masuk yuk, nak! Kita mandi."
Mata bulat menggemaskan ketiga bocah itu terbelalak lebar, bibirnya pun tersenyum lebar sembari saling melempar tatap.
"Bapak pulang?!" Hasna meyakinkan. Ibunya hanya mengangguk tersenyum. Disambut lari-lari kecil dari keempat bocah itu. Berlari kegirangan.
Ketiga bocah manis itu mandi bersama. Ibu yang memandikan mereka berempat. Hingga bersihlah sudah tubuh kecil mereka. Lantas Hasna juga Farida berlari menuju ayahnya. Dibuntuti Elis dan Rumanah, sahabat baiknya.
"Ini baju Hasna!"
"Ini buat Farida!"
Elis dan Rumana hanya terdiam. Hasna menggengam lembut tangan Elis dan Rumana.
"Ayo! Kalian pilih juga baju yang kalian suka." Ujar gadis manis itu. Yang akhirnya keempat bocah yang sudah nampak saudara itu berebut baju yang dibawa oleh sang ayah dari Jakarta.
Perkenalkan. Inilah kehidupan Hasna. Begitu indah. Dia memiliki segalanya. Orang tuanya yang mashur, memiliki rumah dimana-mana, tanah dan ragam kebun yang luas, sawah yang terhampar luas dan subur, keluarganya begitu terpandang dan terhormat, putri putri kecilnya yang begitu manja dan baik hati, orang tuanya pun yang dermawan dan tetap rendah hati, nyaris tak ada satupun masyarakat yang tak menganggap mereka saudara. Lebih dari itu, adalah keluarga bahagia yang tak ternilai harganya yang dimiliki oleh putri kecil itu, Hasna.