Perut itu telah membengkak. Ibu duduk di beranda rumah. Ia membuka sedikit bajunya keatas. Membebaskan permukaan kulit perut buncitnya dibelai angin. Tangan lembutnya mengusap-usap lembut memutar. Hasna. Gadis manja yang terkadang nakal itu jahil. Ia meraih batu di dekatnya, lalu melemparkannya tepat pada perut sang Ibu.
TUK!
"Aww!" Pekik Ibu. Ia hanya menyeringai kesakitan sembari kembali mengusap perutnya.
"Ada apa anak ini? Ssshhh... Sakit." Gerutunya lagi.
Entah apa. Tapi rasa sakit itu tak berhenti. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh Ibu. Semakin kuat. Semakin menyakitkan. Perutnya terasa seperti diremas kuat-kuat. Ibu mulai berteriak kesakitan. Keringat dinginnya bercucuran. Ayah yang mungkin mendengar pekikan itu menghambur langkahnya keluar. Mengantar Ibu ke klinik bersalin terdekat.
*****
Tangis bayi menggema di ruangan itu. Ibu telah berbesar hati diantar suaminya ke klinik ini. Ia berbesar hati, mungkin bayi kecil ini akan menghapus jarak diantaranya dengan suaminya berbulan-bulan ini.
Wanita itu menggenggam jemari suaminya. Suaminya menoleh. Ia tersenyum.
"Terima kasih." Ujarnya dengan suara yang parau.
"Setelah ini saya urus perceraian kita."
Terasa sembilu menyayat hati wanita itu. Rasa sakitnya melahirkan telah hilang tersingkirkan oleh tajamnya kalimat itu. Jemarinya semakin erat menggenggam tangan suaminya.
"Pak, kenapa bapak masih bersikeras menceraikan aku? Apa salah aku?" Air matanya kembali menganak sungai di pipinya.
Hening.
"Bayi ini anak kamu, Pak. Demi Tuhan ini anak kamu." Suara paraunya tetap terdengar.
Suaminya tetap tak mau mendengar. Ia hanya berlalu keluar ruangan.
0 komentar